"Sejarah bukan sekadar catatan masa lalu. Ia adalah guru kehidupan, cermin yang memantulkan wajah kita hari ini. Barangsiapa buta dari sejarah, ia akan terperosok ke lubang yang sama." --- Buya Hamka
Sebuah Kejayaan yang Mulai Retak
Kesultanan Ottoman berdiri bak pohon rindang yang menaungi dunia Islam lebih dari enam abad lamanya. Dari Istanbul hingga Damaskus, dari Makkah hingga Sarajevo, panji Islam berkibar dengan gagah. Di bawah Sultan Abdul Hamid II, benteng terakhir itu masih tegak berdiri, meski badai dari dalam dan luar terus menghantam.
Namun, di balik megahnya istana Topkapi dan lantunan azan di Hagia Sophia, ada bara yang mulai membakar akar pohon itu. Hutang negara yang menumpuk, tekanan Eropa yang kian mencengkeram, dan umat yang mulai jauh dari ruh iman. Di sanalah, nama Rothschild disebut-sebut, sebuah keluarga bankir Yahudi yang menguasai urat nadi keuangan Eropa abad ke-19.
Rothschild: Emas yang Menjadi Senjata
Keluarga Rothschild bukan sekadar kumpulan bankir. Mereka menjadikan emas sebagai pedang, dan hutang sebagai rantai pengikat bangsa-bangsa. Dari Frankfurt mereka berkembang ke London, Paris, Wina, hingga Napoli. Raja-raja berhutang kepada mereka, bahkan perang-perang Eropa dibiayai oleh emas di tangan mereka.
Ketika Ottoman melemah, tangan-tangan Rothschild masuk lewat jalur diplomasi dan pinjaman. Hutang luar negeri menjadi alat yang menundukkan para wazir, membuat keputusan-keputusan istana bergantung pada restu asing.
Bagi umat, ini adalah pelajaran besar: ketika iman longgar, harta dunia mengambil takhta.
Jerat Hutang Ottoman
Hutang Ottoman bukan sekadar angka dalam catatan kas. Ia adalah belenggu yang membelit leher Khilafah.