Cahaya yang Padam di Istanbul
Tatkala mahkota Ottoman runtuh di Istanbul, seakan-akan bulan purnama jatuh dari langit, dan malam pun menjadi pekat tanpa cahaya.
Bukan sahaja Istanbul yang gelap, melainkan jiwa-jiwa di Timur dan Barat turut kehilangan suluhnya.
Palestina yang jauh di barat, menangis di bawah bayang asing, Masjidil Aqsha sunyi bagai yatim kehilangan ayah.
India yang luas di timur, doanya terhenti di tengah jalan, umpama sungai yang kering sebelum sampai ke lautan.
Aceh di ujung Sumatera, Serambi Mekkah yang gagah, pun meneteskan air mata, merasa dirinya tiada lagi berpayung.
Dunia Islam pun tercerai, bagai untaian tasbih yang talinya putus, biji-bijinya berhamburan, tiada lagi terikat pada satu simpul.
Namun di hati mereka masih ada iman, dan iman itu bagaikan bara yang tertutup abu, akan menyala kembali bila fajar menjelang.
Tatkala mahkota Ottoman runtuh di Istanbul tahun 1924, bukan hanya sebuah kerajaan yang hilang. Lebih dari itu, dunia Islam kehilangan payung besar yang selama berabad-abad menaungi. Bagai seorang anak yang ditinggalkan ayahnya, umat pun terombang-ambing tanpa pelindung, tanpa legitimasi, tanpa arah yang pasti.
Sejarah mengajarkan kepada kita, runtuhnya satu tiang agung boleh jadi mengguncang seluruh atap yang ditopangnya. Demikianlah Khilafah Ottoman: ketika ia tegak, tanah suci terlindungi, umat merasa satu keluarga. Tetapi ketika ia runtuh, Palestina meratap, India kehilangan doa, dan Aceh meneteskan air mata.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!