Mohon tunggu...
Angga Munandar
Angga Munandar Mohon Tunggu... Advokat

Profession as an Advocate, has a passion for political developments, Education, health and most importantly cryptocurrencies which are currently and continue to develop

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rothschild dan Ottoman: Pertarungan Iman dan Harta yang Mengguncang Dunia

25 September 2025   16:23 Diperbarui: 25 September 2025   16:27 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desain & edit dengan bantuan AI Gemini

"Sejarah bukan sekadar catatan masa lalu. Ia adalah guru kehidupan, cermin yang memantulkan wajah kita hari ini. Barangsiapa buta dari sejarah, ia akan terperosok ke lubang yang sama." --- Buya Hamka

Sebuah Kejayaan yang Mulai Retak

Kesultanan Ottoman berdiri bak pohon rindang yang menaungi dunia Islam lebih dari enam abad lamanya. Dari Istanbul hingga Damaskus, dari Makkah hingga Sarajevo, panji Islam berkibar dengan gagah. Di bawah Sultan Abdul Hamid II, benteng terakhir itu masih tegak berdiri, meski badai dari dalam dan luar terus menghantam.

Namun, di balik megahnya istana Topkapi dan lantunan azan di Hagia Sophia, ada bara yang mulai membakar akar pohon itu. Hutang negara yang menumpuk, tekanan Eropa yang kian mencengkeram, dan umat yang mulai jauh dari ruh iman. Di sanalah, nama Rothschild disebut-sebut, sebuah keluarga bankir Yahudi yang menguasai urat nadi keuangan Eropa abad ke-19.

Rothschild: Emas yang Menjadi Senjata

Keluarga Rothschild bukan sekadar kumpulan bankir. Mereka menjadikan emas sebagai pedang, dan hutang sebagai rantai pengikat bangsa-bangsa. Dari Frankfurt mereka berkembang ke London, Paris, Wina, hingga Napoli. Raja-raja berhutang kepada mereka, bahkan perang-perang Eropa dibiayai oleh emas di tangan mereka.

Ketika Ottoman melemah, tangan-tangan Rothschild masuk lewat jalur diplomasi dan pinjaman. Hutang luar negeri menjadi alat yang menundukkan para wazir, membuat keputusan-keputusan istana bergantung pada restu asing.

Bagi umat, ini adalah pelajaran besar: ketika iman longgar, harta dunia mengambil takhta.

Jerat Hutang Ottoman

Hutang Ottoman bukan sekadar angka dalam catatan kas. Ia adalah belenggu yang membelit leher Khilafah.

Sejak pertengahan abad ke-19, kesultanan meminjam dana besar dari bank-bank Eropa di antaranya jaringan Rothschild untuk membiayai perang Krimea, modernisasi militer, hingga pembangunan kereta api.

Namun bunga pinjaman begitu tinggi, sementara kas negara keropos oleh korupsi dan kelemahan administrasi. Akhirnya, pada tahun 1875, Ottoman gagal bayar hutang (default).

Empat tahun kemudian, lahirlah sebuah lembaga yang memalukan bagi martabat sebuah kekhalifahan: Ottoman Public Debt Administration (OPDA), dibentuk tahun 1881.

Lembaga ini berada di bawah kontrol langsung kreditur Eropa, termasuk bank-bank yang terhubung dengan Rothschild. Mereka bukan hanya menagih hutang, tetapi juga mengambil alih pemasukan negara: pajak tembakau, garam, bea cukai, bahkan sebagian pajak tanah dikuasai asing.

Bayangkan, sebuah negara Islam yang pernah menguasai tiga benua, kini pendapatannya diatur oleh para rentenir asing!

Inilah tragedi: ketika iman runtuh, harta asing datang menjerat.

Sultan Abdul Hamid II: Sang Penjaga Palestina

Di tengah badai hutang itu, berdirilah Sultan Abdul Hamid II, seorang khalifah yang tegas menolak tawaran emas demi tanah Palestina. Theodor Herzl, tokoh Zionis, datang dengan janji emas dan pelunasan hutang. Dukungan finansial Rothschild ada di baliknya.

Namun Sultan menjawab dengan kalimat yang akan dikenang sepanjang zaman:

"Saya tidak akan menjual tanah sejengkal pun dari Palestina, karena tanah itu bukan milik saya. Ia adalah milik umat Islam. Mereka telah menebusnya dengan darah. Jika suatu saat Khilafah ini runtuh, kalian bisa mendapatkannya tanpa bayaran. Tetapi selama saya hidup, saya tidak akan menyetujui pemotongan tubuh kita ini."

Sebuah jawaban yang lahir dari iman, bukan dari perhitungan harta.

Intrik, Hutang, dan Kejatuhan

Namun sejarah berjalan keras. Tekanan hutang menjerat, politik Eropa bersekongkol, dan kelompok-kelompok dalam negeri yang haus kuasa ikut berperan. Gerakan Young Turk bangkit, dan Abdul Hamid II diturunkan dari tahtanya pada 1909.

Rothschild mungkin bukan dalang tunggal, tetapi peran finansial mereka menyiapkan jalan. Hutang membuat Ottoman tak lagi berdaulat, dan diplomasi uang membuka pintu bagi Zionisme.

Ketika Sultan yang menjaga Palestina disingkirkan, maka jalan menuju Deklarasi Balfour 1917 terbuka lebar surat yang ditujukan Inggris kepada Lord Walter Rothschild, menyatakan dukungan bagi "tanah air nasional Yahudi" di Palestina.

Ottoman Runtuh, Israel Tumbuh

Tak lama berselang, Ottoman pun runtuh setelah Perang Dunia I. Kekhalifahan Islam yang pernah menggetarkan dunia tinggal kenangan. Palestina jatuh ke tangan Inggris, dan pada 1948 lahirlah Israel di atas luka sejarah.

Baron Edmond de Rothschild, tokoh keluarga di Prancis, dikenang sebagai "Bapa Pemukiman Yahudi". Ia membiayai koloni pertama Yahudi di Palestina, mendirikan sekolah, rumah sakit, hingga ladang anggur.

Rothschild tidak hanya menjadi nama dalam buku sejarah keuangan, tetapi juga tercatat dalam fondasi berdirinya Israel modern.

Ibrah untuk Umat

Wahai umat, pelajarilah sejarah ini dengan mata hati.

Kesultanan Ottoman bukan runtuh karena pedang semata, melainkan karena iman yang goyah, hutang yang mengikat, dan persatuan yang pecah.

Rothschild hanyalah simbol dari kekuatan duniawi yang bisa menjatuhkan siapa saja yang lebih cinta dunia daripada akhirat. Tetapi Sultan Abdul Hamid II menjadi teladan, bahwa seorang pemimpin sejati lebih memilih kehormatan umat daripada emas segunung.

Apalah arti harta bila menggadaikan bumi para Nabi?

Apalah arti kekuasaan bila diraih dengan menjual tanah air?

Penutup

Sejarah Ottoman dan Rothschild bukan sekadar kisah masa lalu. Ia adalah cermin bagi umat Islam hari ini.

Selama iman terjaga, emas tak bisa membeli harga diri.

Tetapi bila iman runtuh, hutang dan harta akan mengikat kita dengan rantai tak kasat mata.

Maka, bangunlah dari kelalaian. Belajarlah dari sejarah.

Karena di antara iman dan harta, yang akan menyelamatkan umat hanyalah iman yang kokoh.

Sumber Referensi

Cleveland, William L. A History of the Modern Middle East. Westview Press, 2016.

Karsh, Efraim. Islamic Imperialism: A History. Yale University Press, 2007.

Herzl, Theodor. The Complete Diaries of Theodor Herzl. Herzl Press, 1960.

Balfour Declaration (1917), The National Archives, UK.

Kedourie, Elie. The Chatham House Version and Other Middle-Eastern Studies. University of Chicago Press, 1970.

Kinross, Lord. The Ottoman Centuries: The Rise and Fall of the Turkish Empire. Harper & Row, 1977.

Pamuk, evket. The Ottoman Empire and European Capitalism 1820--1913. Cambridge University Press, 1987.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun