Buya Hamka, sesosok ulama multitalenta asal Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai sastrawan dan politisi, tetapi juga sebagai pemikir Islam yang visioner. Salah satu pesannya yang terus menggema adalah bahwa Islam menolak kebodohan. Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan seruan untuk membangun peradaban yang berlandaskan ilmu, akal sehat, dan keimanan. Bagaimana Buya Hamka mengartikulasikan prinsip ini dalam konteks kehidupan modern? Mari kita telusuri melalui pemikiran dan karya-karyanya. Â
Buya Hamka: Ulama yang Menjembatani Tradisi dan Modernitas
Buya Hamka (1908--1981) lahir di Minangkabau, Sumatra Barat, dalam lingkungan keluarga ulama reformis. Ayahnya, Syekh Abdul Karim Amrullah, adalah tokoh gerakan pembaruan Islam (tajdid) yang memengaruhi cara pandang Buya Hamka terhadap ilmu dan kebodohan. Meski hanya menempuh pendidikan formal dasar, Buya Hamka tumbuh sebagai autodidak yang haus ilmu. Ia menguasai bahasa Arab, filsafat Barat, sastra, dan politik, menjadikannya simbol integrasi antara tradisi keislaman dan modernitas . Â
Karyanya, seperti Tafsir Al-Azhar dan Tasawuf Modern, menunjukkan komitmennya untuk menjadikan Islam sebagai solusi bagi masalah kemanusiaan, termasuk kebodohan. Â
Islam Menolak Kebodohan: Makna di Balik Kalimat
Dalam berbagai tulisan dan ceramahnya, Buya Hamka kerap menekankan bahwa kebodohan adalah musuh utama umat Islam. Ia menyatakan: Â
"Iman tanpa ilmu bagaikan lentera di tangan bayi. Namun ilmu tanpa iman, bagaikan lentera di tangan pencuri".
Kalimat ini menggarisbawahi dua hal:
- Ilmu sebagai fondasi iman: Tanpa ilmu, keimanan menjadi rapuh dan mudah disalahgunakan.Â
- Iman sebagai pengarah ilmu: Ilmu yang tidak diimbangi nilai spiritual akan kehilangan arah dan berpotensi merusak. Â
Buya Hamka juga mengkritik sikap malas berpikir:
"Salah satu pengerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan pikiran yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas". Â