Mohon tunggu...
Angga Juliansyah
Angga Juliansyah Mohon Tunggu... -

Angga Juliansyah, staff Transaksi Energi (TE) PT. PLN PLN Wilayah Riau dan Kep. Riau, Area Pekanbaru, Rayon Perawang NIP : 94162115ZY

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ujian Integritas di Tengah Krisis Integritas

25 Oktober 2016   21:49 Diperbarui: 26 Oktober 2016   16:01 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai salah satu lembaga pelayananan di bidang ketenagalistrikan, maka seluruh insan PLN juga harus mendukung pemerintah untuk menghapus budaya pungli di masyarakat Indonesia. Apalagi mengingat PLN adalah perusahaan besar yang memiliki banyak stakeholder, mulai dari aparatur pemerintah, investor, lembaga swadaya masyarakat (LSM), termasuk pelanggan. PLN juga telah mencanangkan program PLN Berintegritas yang harus diimplementasikan oleh seluruh insan PLN dalam menjalankan tugas secara berintegritas dan bebas dari praktik pungli. Praktik tersebut tidak memberikan keuntungan kepada pihak manapun dan dapat merusak kepercayaan stakeholder kepada PLN. 

Seluruh jajaran manajemen PLN harus mengawal secara rutin agar pelayanan PLN benar-benar bebas dari pungli. Selain itu, insan PLN juga dapat menyampaikan pengaduan apabila menemukan adanya praktik pungli yang masih terjadi dilingkungannya. Hal ini diharapkan dapat menjadi upaya perbaikan bersama untuk PLN bebas pungli.

Integritas adalah kata sifat yang setahun terakhir menjadi kosa kata baru yang sangat memiliki arti tersendiri bagi saya. Khususnya ketika setahun lalu menjadi bagian dari PT. PLN (Persero). Pengertian integritas yang saya ingat adalah definisi integritas menurut Dahlan Iskan: tahan godaan: uang maupun politik, netral, memiliki pandangan yang jernih dalam menilai sesuatu, tidak terdapat agenda yang terselubung dan tersembunyi dan fokus pada kewajibannya terhadap Tuhan.

Integritas menjadi senjata wajib yang harus dimiliki oleh semua orang dan pegawai PLN. Integritas menjadi benteng yang sedikit banyak mengajarkan saya untuk bertahan dan tidak goyah menghadapi ujian (baik secara materi dan non materi) yang saya kira dulu hanya cerita belaka milik orang yang telah bekerja, tetapi sekarang saya mengalaminya sendiri. Ditengah posisi sebagai pegawai PLN yang tergolong masih muda saya menemukan praktik kecurangan yang ditawarkan langsung ke saya, dengan tawaran yang terkadang tidak sedikit, tetapi dengan integritas saya belajar untuk mampu melewati ujian tersebut, karena saya sadar saya tidak hanya membawa nama pribadi. Saya dan rekan pegawai lainnya dipercaya oleh masyarakat dan perusahaan, kami tidak ingin mengotori harga diri PLN yang sudah memulihkan namanya (dan itu tidak mudah) hanya karena cobaan di lapangan yang memang terkadang cukup menggiurkan. Integritas kini memang menjadi barang mahal ditengah krisis moral yang menjadi-jadi, tapi kami berupaya untuk membayar harga mahal itu dengan perjuangan dan kejujuran yang tidak ingin kami sia-siakan. Inilah sedikit pengalaman tentang ujian integritas yang saya hadapi…

INTEGRITAS DIUJI OLEH P2TL

Ujian integritas kali pertama bagi saya adalah saat saya menjadi pengawa P2TL (Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik). Saat itu kami menjalankan TO (Target Operasi) yang diberikan oleh kantor. Setelah beberapa pelanggan telah kami periksa, akhirnya pada rumah ke delapan kami menemukan pelanggaran di KWH Meter. Pelanggarannya adalah sambung langsung di kabel SR sebelum masuk ke Kwh Meter pelanggan atau pelanggaran P3. Sesuai prosedur yang ada,  Kami pun menjelaskan kepada pelanggan mengenai bentuk pelanggaran tersebut dan pelanggan pun akhirnya mengakui kesalahannya. Saya memberikan berita acara yang sudah disiapkan oleh tim ke pelanggan untuk ditandatangani dan tim P2TL pun mencabut Kwh Meter sebagai alat bukti sebagaimana dengan SOP. Saya mengarahkan pelanggan ke kantor agar menyelesaikan kasus ini dan kwh meter akan segera dipasang lagi. 

Namun, saat tengah menjelaskan prosedur yang harus dilakukan oleh pelanggan tersebut, tiba-tiba pelanggan tersebut memotong pembicaraan saya dan berkata “Pak, apa tidak ada cara lain untuk menyelesaikan masalah ini?” Saya masih belum mampu menangkap maksud dari pertanyaan pelanggan tersebut dan kemudian bertanya “Maksudnya gimana Pak?” Dalam waktu singkat, pelanggan tersebut mendekati saya dan dengan sedikit berbisik menyampaikan sesuatu yang cukup membuat saya tertegun untuk beberapa saat. “Kita selesaikan disini saja pak, Bapak minta nya  berapa, nanti saya kasih uang nya. Bapak dan tim dapat uang, saya pun tidak dirugikan, dan saya janji, tidak akan melakukan pencurian listrik lagi. Gimana Pak?”

Setelah cukup dikejutkan dengan penawaran pelanggan tersebut Saya pun dengan tegas berkata “Mohon maaf Pak, kami petugas tidak menerima uang di lapangan dan kami tidak membutuhkan uang tambahan dari Bapak karena kami sudah dibayar oleh PT. PLN (Persero) untuk melaksanakan tugas ini. Sekali lagi mohon maaf Pak

Saya memperkirakan bahwa Pelanggan tersebut akan menyadari kesalahannya dengan ucapan saya tersebut, namun ternyata muncul ucapan lain yang lebih mengejutkan saya.  “Halah, sok-sok’an kamu pak, biasanya juga banyak petugas yang menerima uang di lapangan, hahaha, Jangan sok alim lah Pak” susul Pelanggan tersebut dengan nada bercanda. Maksud bercanda dari seseorang tidak bisa serta-merta saya imbangi dengan candaan yang sama. Saya menyadari ada yang tidak beres dari semua percakapan ini. saya pun menjawab ucapan pelanggan tersebut. “Boleh beri tahu saya Pak kapan dan dimana penerimaan uang oleh petugas P2TL dilapangan terjadi? kalaupun memang ada, saya pastikan itu hanya oknum Pak. Dan saya tegaskan mulai saat ini tidak ada lagi yang menerima uang dilapangan khususnya untuk rayon ini.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut saya merasa lebih tenang dan ada perasaan lega yang muncul dengan sendirinya. Percakapan (mengesankan) tersebut akhirnya diakhiri dengan pernyataan dari pelanggan bahwa beliau akan mengurus prosedur selanjutnya di kantor. Meskipun dengan nada jengkel tetapi tidak ada yang bisa dilakukan oleh Pelanggan tersebut kecuali mengakui kesalahan dan mematuhi prosedur yang ada. Saya dan Tim pun pergi meninggalkan Pelanggan tersebut dengan mengucapkan terimakasih atas kerjasamanya dan membawa barang bukti berupa KWH Meter. Pada hari tersebut saya belajar satu hal, berani tegas menolak sebuah tawaran yang tidak baik artinya sama dengan memangkas pelanggaran hingga ke akar-akarnya. Dan saya bangga melakukan penolakan tersebut tanpa ada rasa menyesal sedikit pun.

INTEGRITAS DI UJI OLEH PASANG BARU

Cerita ini adalah pengalaman kali ke dua untuk ujian integritas yang saya hadapi di lapangan. Namun bukan lagi masalah P2TL tapi tentang pasang baru. Saat sedang bertugas di lapangan, saya dan rekan-rekan terkadang menyempatkan diri untuk bercengkrama dengan masyarakat. Selain untuk menambah keakraban terkadang kami bisa memanfaatkan waktu tersebut untuk berbagi informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan listrik.

Saat itu, ada seorang ibu yang bertanya kepada saya mengenai pasang baru. Ibu tersebut sedang dalam proses membangun rumah dan selama kurang lebih dalam satu minggu pembangunan rumahnya akan selesai dan siap ditempati. “Saya mau pasang listrik (maksudnya  menjadi pelanggan PLN). Biayanya berapa ya Pak?” ucap Ibu tersebut pada satu kesempatan. Saya pun dengan senang hati menjelaskan prosedur dan menjelaskan detail biaya dan persyaratan pasang baru. “Untuk pasang baru kurang lebih biayanya 1.6 Juta Bu, dan untuk persyaratannya mohon siapkan materai 6000 4 buah, fotokopi KTP, fotokopi rekening tetangga dan map hijau. Untuk detail biayanya langsung kekantor aja Bu, disana nanti akan dijelaskan dengan lebih rinci dan jelas.”  Kemudian Ibu tersebut kembali bertanya. “Ooh harus ke kantor ya?? Saya males Pak kalau harus ke kantornya, jauh. Kira-kira itu kapan selesai dan siap digunakan ya Pak?”

Saya kembali menjelaskan bahwa pasang baru tidak bisa di lakukan dalam waktu yang singkat karena tergantung dengan jumlah antri calon pelanggan. Jika jumlah antri calon pelanggan sedikit, maka proses pasang baru akan berlangsung paling lama satu minggu, tapi karena saat itu banyak yang akan pasang batu maka pelanggan yang terlebih dahulu mendaftar yang akan didahulukan proses pemasangannya.  “Waduuh, saya gak bisa menunggu lama nih Pak, rumah itu langsung mau saya tempati 1 minggu lagi. Saya gak enak numpang sama saudara terus. Gimana ya solusi nya? Apa gak bisa lebih cepat Pak?” tanya Ibu tersebut dengan wajah sedikit cemas. Sembari tersenyum. saya pun menjawab “Kami berusaha secepat mungkin Bu, namun kita tetap mengerjakan berdasarkan antrian.

Tidak berselang lama, kemudian Ibu tersebut memberikan penawaran kepada Saya dan meminta agar kami mempermudah proses pasang baru milik Ibu tersebut. “Gini aja Pak, gimana kalau punya ibu dipermudah prosesnya?” Sejujurnya, saya merasa déjà vu dengan kejadian ini, namun saya berusaha mengenyahkan fikiran tersebut. “Maksudnya gimana Bu?” Tanya saya kemudian. “Ibu kasih uang lebih deh, nanti Bapak urus semua administrasi dan punya ibu didahulukan daripada yang lain, gimana?

Inilah ujian integritas kali kedua. Jujur, saat itu perasaan saya campur aduk. Saya masih muda dan secara manusiawi siapa yang tidak ingin memiliki uang, apalagi dengan nominal yang tidak sedikit. Namun, saat itu kemudian saya kembali teringat pesan orang tua dan para guru saya untuk bekerja secara adil dan tidak menyalahi SOP (Standar Operasional Prosedur). Jangan tertipu dengan uang, jangan sampai uang membuatmu kehilangan rasa keadilan. Saya menyadari bahwa mungkin saya akan mendapat uang tambahan jika saya menerima penawaran tersebut tapi saya menjadi pegawai PLN tidak hanya sampai hari itu saja. Bagaimana saya bisa mendapat keberkahan dan ketenangan dalam bekerja jika saya pernah menyalahi aturan?

Akhirnya dengan tegas saya menolak penawaran tersebut. “Mohon maaf Bu, kita tidak bisa menerima yang seperti itu. Nanti jadi nggak adil don dengan pelanggan yang lain.” Sayangnya penolakan tersebut tidak berarti apa-apa bagi lawan bicara saya.

Bapak mau uang berapa? Ayolah Pak, nanti tak kasih 2.5 juta tapi tolong pasangnya dalam waktu 4 hari sudah selesai ya? Gimana?” sanggah Ibu tersebut dengan wajah yang memelas. Saya deg-degan. “Mohon maaf bu, berapapun ibu kasih, saya tidak bisa menerima (dengan berat hati hahaha). Bukan sok alim Bu, walaupun saya menerima uang dari Ibu, tapi uang yang saya terima pun tidak bisa saya kasih makan ke anak dan istri saya. Karena saya yakin dengan ajaran agama saya yang mengatakan tidak boleh memakan uang yang bukan hak kita, apalagi dikasih ke anak dan istri, nanti tidak berkah.sekali lagi mohon maaf ya Bu.” Saya menjawab dengan nada yang dibuat setenang mungkin. Walaupun saat itu sebenarnya saya menjawab dengan sedikit berbohong dengan mengatakan saya sudah mempunyai anak istri, padahal kenyataannya saya masih lajang (hahaha). Mengapa saya mengatakan bahwa saya sudah mempunyai anak istri? Karena saya meyakini bahwa orang yang sudah berkeluarga akan terlihat lebih berwibawa di mata masyarakat. Sebagai penutup percakapan, akhirnya saya meminta Ibu tersebut untuk mengurus prosedur pasang baru secepatnya agar proses dapat segera terealisasikan. “Ya sudah, nanti Ibu urus ke kantor. Terima kasih atas infonya Pak.” Ucapnya. Saya pun mengangguk dan tersenyum lega.

Inilah pengalaman ujian integritas yang saya temui selama di lapangan. Saya yakin, di luar sana masih banyak ujian integritas milik pegawai lain yang  lebih menggiurkan, lebih  menantang dan lebih kuat cobaan yang mereka lalui, tapi dengan mendapat ujian integritas ini saya merasa bersyukur karena ujian selalu menjadi pertanda untuk menjadikan kita setahap lebih baik dari sebelumnya. Hal itu pun yang saya harapkan bagi diri saya dan PLN. Saya menyadari sebagai Pegawai PLN saya masih butuh banyak belajar, tetapi satu hal yang akan selalu saya tanamkan. Saya selalu dan akan selalu meminta kepada Tuhan agar diberikan keteguhan hati untuk bertahan dengan integritas ini sampai akhir. Ditengah-tengah krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap pegawai pemerintahan, pegawai BUMN dan lapisan bidang pekerjaan lainnya, saya percaya bahwa tidak lama lagi kepercayaan itu akan pulih dan kembali kokoh selama semua orang memiliki keteguhan dan kejujuran moral. Bekerja cerdas memang perlu tetapi bekerja jujur lebih diperlukan. Saya berani menjadi pegawai yang berintegritas.  PLN lebih berani menunjukkan jati diri sebagai BUMN yang berintegritas tinggi.

Saya melampirkan foto prajabatan karena saya belum mendapat ID Card dari PT. PLN (Persero) Wilayah Riau dan Kep. Riau.
Saya melampirkan foto prajabatan karena saya belum mendapat ID Card dari PT. PLN (Persero) Wilayah Riau dan Kep. Riau.
ANGGA JULIANSYAH

94162115ZY

JUNIOR ENGINEER PENGENDALIAN SUSUT DAN PJU

PT. PLN (PERSERO) WILAYAH RIAU DAN KEPULAUAN RIAU, AREA PEKANBARU, RAYON PERAWANG

FACEBOOK : https://www.facebook.com/angga.juliansyah.9

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun