Mohon tunggu...
Angelia Yulita
Angelia Yulita Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru

Penikmat matematika, buku, dan kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Trengginasnya Rara Mendut dan Perempuan Tanah Jawa Klasik

26 Mei 2020   23:00 Diperbarui: 27 Mei 2020   19:23 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perempuan jawa. (sumber: KOMPAS/Wahyu Wiedyardini)

Aku merenung sesaat sebelum memulai kalimat pertamaku. Apakah ini adalah tragedi? Aku menimbang sejenak. Beragam memang perasaanku setelah menyelesaikan membaca buku Rara Mendut karya Y. B. Mangunwijaya ini.

Aku terpukau karena beliau yang sejatinya menerbitkan kisah ini di tahun 1987-an, tetapi sudah mengangkat tema tentang para perempuan tanah Jawa yang mengagumkan. Trengginas, bahasanya...

Sungguh heran memang jika Rara Mendut ini benar adanya. Perempuan bak harimau yang menjadi lawan setara panglima besar kerajaan Mataram dengan kerap kali menolak dipinang.

Sebagai perempuan tentulah aku bangga, juga lirih. Aku tanyakan pada diriku sendiri apa jadinya jika aku menjadi Rara Mendut. 

Beranikah aku mempertahankan keyakinanku sampai mati di ujung keris atau akankah aku menyerah saja menjadi salah satu isteri seorang panglima tua namun gagah perkasa?

Aku rasa bisa jadi aku terlalu pengecut dan mungkin akan berpikir sama dengan sang dayang tua Ni Semangka yang kian heran mengapa Den Rara, si puannya itu, tidak mau saja menerima kehidupan serba mudah dan mewah yang ditawarkan Wiraguna. Cukup setuju saja menjadi salah satu bendara ayu milik panglima itu.

Ah, keterbatasan perempuan dalam memilih... Bukankah sampai sekarang masih saja perihal ini berkumandang dimana-mana... Walau mungkin saat ini telah banyak lelaki dengan lebih bijaksana memberikan ruang bagi perempuan untuk bersuara, bahkan memimpin, tapi tetap saja gaung kesetaraan gender itu tetap terdengar.

Tapi saat membaca Rara Mendut ini, aku bukan saja terpukau dengan tingkah Rara yang selalu menantang kaum lelaki. Ada pula tokoh Nyai Ajeng yang sejak awal sangat patuh pada suaminya, Wiraguna, tapi dengan kebijaksanaannya ia tunjukkan bahwa bisa jadi wanita diakui kedudukannya hanya di belakang, padahal ia-lah yang membawa nasib baik bagi lelaki.

Campur aduk berbagai karakter perempuan di dalam buku ini dan masing-masing membawa amanahnya sendiri. Setidaknya aku merenungi setiap tokoh itu.

Awalnya aku cenderung menilai feminisme memanglah yang terbaik, namun buku ini menyadarkan aku bahwa mungkin pikiranku terlalu sempit untuk benar-benar paham apa itu feminisme.

Tentu yang pasti feminisme lebih dari sekedar wanita yang berani menyuarakan pendapat dan membela kedudukan, juga keyakinannya. Di sinilah nyata apiknya sang penulis, Y. B. Mangunwijaya mengemas buku ini. Begitu kaya akan karakter, nilai, sejarah, perenungan batin... Terutama dari segi wanita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun