Persaingan industri  yang masif dan dinamis, setiap pesaing berupaya menawarkan produk dan jasa yang saling mengumbar keunggulan dan kelebihan, tetapi sebetulnya relatif sama.Â
Ketika pesaing menunjukkan perkembangan namun organisasi yang kita kelola malah melempem, pertumbuhan bisnis stagnan, meningkatnya biaya operasional, menurunnya pendapatan, kondisi seperti itu memang membingungkan.Â
Diperlukan adanya gebrakan dari stakeholderguna memperbaiki kinerja organisasi yang berujung kepada membaiknya kinerja bisnis, bukan hanya menggebrak meja dan bukan juga sekadar beretorika.
Masalahnya adalah bagaimana menjalin suatu mekanisme kerja yang terkoordinasi dan disertai dengan komunikasi yang mengalir antar lini dan unit kerja. Â
Tidak dapat dipungkiri faktor ego dan kepentingan sepihak atau segelintir pihak di dalam organisasi kerap menjadi batu sandungan bagi perkembangan organisasi itu sendiri.
Terkadang dalam satu organisasi terbagi menjadi beberapa kubu, ada kubu A yang merupakan orang-orang bawaan salah satu petinggi, ada lagi kubu B yang merupakan orang-orang kepercayaan pemilik, bisa juga ada kubu C yang merupakan orang-orang lama yang kebingungan dan mulai terlupakan, dan masih banyak kubu.Â
Semuanya tersekat dalam dinding kotak masing-masing kubu, dinding di belakang adalah pihak yang menjadi pijakan atau orang kuat di kubu tersebut, dinding kanan dan kiri merupakan batas rekan-rekan di kubu tersebut, dan dinding di depan merupakan batas antara kubu tersebut dengan kubu lain. Dengan kondisi seperti ini jangan mengharapkan terciptanya budaya organisasi yang baik.
Saya tertarik untuk menganalogikan kondisi dari setiap kubu tersebut seperti halnya panggung teater tradisional  yang terdiri dari dinding belakang sebagai latar belakang pertunjukan, lalu dinding sebelah kiri dan kanan sebagai tempat para pemain keluar masuk sesuai dengan bagian dari pertunjukan.Â
Semua pemain dalam teater tentunya berkomunikasi dengan pemain lainnya sesuai lakon pertunjukan. Mereka berinteraksi sesuai dengan perannya, cukup di situ.Â
Namun sesungguhnya pertunjukan tersebut tidak akan terselenggara jika tanpa adanya penonton, nah ternyata ada dinding ke empat yaitu di depan para pemain tersebut, dinding yang tidak terlihat dan menjadi pembatas antara pemain dan penonton.Â
Ketika para pemain teater tersebut menyadari bahwa eksistensi di panggung hanya merupakan peran fiksi dan kemudian mereka berinteraksi dengan penonton, mereka dikatakan telah merobohkan dinding ke empat.