Sebagian kawasan memang sudah dilindungi oleh cungkup dan pagar baja ringan, tapi sayangnya, itu belum mencakup seluruh situs. Ini membuat Kumitir seolah menjadi medan pertempuran antara pelestarian dan pengabaian. Jika masalah ini tidak ditangani dengan serius, kita bisa kehilangan salah satu warisan arkeologi terbesar dari peradaban Majapahit.
Menuju Kawasan Cagar Budaya Terpadu
Wilayah Trowulan sudah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN), dan sistem zonasinya mencakup zona inti, penyangga, pengembangan, dan penunjang. Dengan nilai sejarah dan arkeologis yang ada, Kumitir sangat layak untuk dimasukkan ke dalam zona inti baru atau bahkan diperluas sebagai bagian dari jaringan pelestarian Majapahit.
Nah, untuk mewujudkan semua ini, kita perlu beberapa langkah konkret, seperti:
* Pengakuan resmi dari Kemendikbudristek tentang status strategis Kumitir.
* Kerja sama antar lembaga, seperti BRIN, BPCB, universitas, masyarakat adat, dan pemerintah daerah.
* Pengembangan wisata budaya yang berbasis edukasi, bukan hanya sekadar pariwisata komersial.
Dengan adanya sinergi ini, Kumitir bisa menjadi contoh model pelestarian warisan budaya yang inklusif dan berkelanjutan.
Membuka Babak Baru Studi Arkeologi Majapahit
Situs Kumitir hadir sebagai terobosan penting dalam studi Majapahit, dan ada dua alasan utama untuk itu:
1. Lokasinya yang berada di sisi timur kota kerajaan memberikan petunjuk baru bahwa kekuasaan Majapahit tidak hanya terpusat di Trowulan, tapi juga meluas dan terstruktur dengan kompleks.
2. Kaitannya dengan elite bangsawan, yang bukan hanya soal keagamaan. Ini membuka peluang untuk menggali lebih dalam tentang aspek politik internal Majapahit, termasuk peran para Bhre dalam mengelola kekuasaan.
Lebih dari itu, dengan adanya kerangka manusia yang bisa dianalisis secara biologis, kita bisa mulai membaca dimensi demografi dan ritual pemakaman Majapahit, yang sebenarnya jarang terungkap dari situs lain.