Mohon tunggu...
Andriyanto
Andriyanto Mohon Tunggu... Lainnya - Jika kamu tak menemukan buku yang kamu cari di rak, maka tulislah sendiri.

- Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh - Rasa bahagia dan tak bahagia bukan berasal dari apa yang kamu miliki, bukan pula berasal dari siapa dirimu, atau apa yang kamu kerjakan. Bahagia dan tak bahagia berasal dari pikiran kamu sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengulas Sejarah Ajaran Zen: Kisah Bodhidharma di Tiongkok hingga Obaku di Jepang

24 Januari 2024   07:01 Diperbarui: 24 Januari 2024   09:06 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Buddhist monk Bodhidharma (Chinese: Damo) | China | The Metropolitan Museum of Art (metmuseum.org) 

Zen adalah salah satu aliran Buddhisme yang paling populer dan berpengaruh di dunia. Zen menekankan pada praktik meditasi dan pencerahan spontan, serta mengintegrasikan ajaran Buddha ke dalam kehidupan sehari-hari. Zen juga mempengaruhi budaya dan estetika Jepang, seperti seni kaligrafi, lukisan tinta, puisi haiku, upacara minum teh, dan taman batu.

Namun, bagaimana sejarah dan perkembangan ajaran Zen? Siapa saja tokoh-tokoh penting yang mewariskan ajaran Zen? Bagaimana ajaran Zen bisa menyebar dari Tiongkok ke Jepang? Artikel ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengulas ajaran Zen dari Bodhidharma hingga Obaku di Jepang.

Bodhidharma: Pendiri Ajaran Chan di Tiongkok

Bodhidharma adalah seorang biksu Buddha semi-legendaris yang hidup pada abad ke-5 atau ke-6 M. Ia secara tradisional dianggap sebagai pengirim Buddhisme Chan ke Tiongkok, dan dihormati sebagai patriark Tiongkok pertama. Ajaran Chan kemudian berkembang menjadi Zen di Jepang. Namanya berarti "dharma pencerahan (bodhi)" dalam bahasa Sanskerta.

Sedikit informasi biografi kontemporer tentang Bodhidharma yang ada, dan akun selanjutnya menjadi berlapis dengan legenda dan detail yang tidak dapat diandalkan. Menurut sumber-sumber Tiongkok, Bodhidharma berasal dari Wilayah Barat , yang biasanya mengacu pada Asia Tengah tetapi juga dapat mencakup subbenua India, dan digambarkan sebagai "Persia Asia Tengah"  atau "India Selatan", putra ketiga dari seorang raja India yang hebat . Sepanjang seni Buddha, Bodhidharma digambarkan sebagai orang non-Tiongkok yang pemarah, berhidung besar, berjenggot lebat, dan bermata lebar. Ia disebut sebagai "Barbarian Berekor Biru" (Hanzi: 碧眼胡; pinyin: Bìyǎnhú) dalam teks-teks Chan.


Ajaran dan praktik Bodhidharma berpusat pada meditasi dan Laṅkāvatāra Sūtra, sebuah teks Buddha yang menekankan pada pengalaman langsung dari pencerahan. Antologi Aula Patriark (952) mengidentifikasi Bodhidharma sebagai Patriark ke-28 Buddhisme dalam garis keturunan yang tidak terputus yang membentang sampai ke Gautama Buddha sendiri.

Bodhidharma tiba di Tiongkok pada masa dinasti Liang (502–557 M). Ia bertemu dengan kaisar Liang Wudi, yang mengaku telah mendukung banyak kegiatan Buddha. Bodhidharma tidak terkesan dengan klaim kaisar dan berkata bahwa ia tidak mendapatkan manfaat apapun dari ajaran Buddha. Kaisar marah dan menolak Bodhidharma. Bodhidharma kemudian pergi ke kuil Shaolin di provinsi Henan, di mana ia bertapa menghadap tembok selama sembilan tahun. Ia juga mengajarkan para biarawan Shaolin tentang meditasi dan latihan fisik.

Setelah sembilan tahun bertapa di Shaolin, Bodhidharma meninggalkan kuil dan pergi ke Gunung Song, di mana ia bertemu dengan seorang murid bernama Huike. Huike mengikuti Bodhidharma dan memohon untuk diajari ajaran Buddha. Bodhidharma mengabaikannya dan terus berjalan. Huike kemudian memotong lengannya sendiri untuk menunjukkan kesungguhannya. Bodhidharma akhirnya menerima Huike sebagai muridnya dan memberinya ajaran tentang meditasi tanpa pikiran.

Bodhidharma juga dikatakan telah mengunjungi Gunung Wutai, tempat suci bagi para bodhisatva kebijaksanaan, dan Gunung Emei, tempat suci bagi para bodhisatva belas kasih. Ia juga dikatakan telah menghadapi banyak tantangan dan bahaya selama perjalanannya, seperti serangan dari binatang buas, pencuri, atau musuh-musuh Buddha.

Bodhidharma meninggal pada usia 150 tahun di Gunung Luofu di provinsi Guangdong. Ia dikuburkan oleh murid-muridnya di sebuah gua. Namun, menurut sebuah legenda, ia bangkit dari kuburnya dan kembali ke India dengan membawa sepatu sandalnya. Beberapa orang mengklaim telah melihatnya di sepanjang jalan. Ketika para biarawan membuka makamnya, mereka hanya menemukan sepatu sandalnya.

Huike: Murid Utama Bodhidharma dan Patriark Kedua Chan

Huike (487–593 M) adalah murid utama Bodhidharma dan penerusnya sebagai patriark kedua Chan. Ia dikenal karena memotong lengannya sendiri untuk menunjukkan kesungguhannya kepada Bodhidharma. Ia juga dikenal karena menyelamatkan ajaran Bodhidharma dari kebakaran kuil Shaolin.

Huike lahir di provinsi Henan dari keluarga bangsawan. Ia memiliki bakat luar biasa dalam belajar dan berbicara. Ia menjadi seorang biksu Buddha pada usia 15 tahun dan belajar banyak kitab suci Buddha. Namun, ia tidak merasa puas dengan ajaran Buddha yang ia pelajari dan mencari guru yang dapat memberinya pencerahan.

Ia mendengar tentang Bodhidharma yang bertapa di kuil Shaolin dan pergi untuk menemuinya. Ia mengikuti Bodhidharma selama berbulan-bulan dan memohon untuk diajari ajaran Buddha. Bodhidharma mengabaikannya dan terus bertapa. Huike kemudian memotong lengannya sendiri untuk menunjukkan kesungguhannya. Bodhidharma akhirnya menerima Huike sebagai muridnya dan memberinya ajaran tentang meditasi tanpa pikiran.

Huike menjadi murid yang setia dan berbakat dari Bodhidharma. Ia mewarisi ajaran Chan dari Bodhidharma dan menjadi patriark kedua Chan. Ia juga menyimpan Laṅkāvatāra Sūtra, kitab suci yang diberikan oleh Bodhidharma, di dalam tubuhnya untuk melindunginya dari kebakaran kuil Shaolin yang disebabkan oleh serangan tentara.

Huike memiliki banyak murid yang belajar ajaran Chan darinya. Salah satu muridnya adalah Sengcan, yang kemudian menjadi patriark ketiga Chan. Huike juga mengajarkan ajaran Chan kepada para biksu lain di kuil Shaolin, sehingga kuil itu menjadi pusat ajaran Chan di Tiongkok.

Huike meninggal pada usia 107 tahun di Gunung Xiong'er di provinsi Henan. Ia dikuburkan oleh murid-muridnya di sebuah gua. Sebelum meninggal, ia memberikan Laṅkāvatāra Sūtra kepada Sengcan sebagai tanda penerusan ajaran Chan.

Sengcan: Penulis Xinxin Ming dan Patriark Ketiga Chan

Sengcan (480–606 M) adalah murid Huike dan patriark ketiga Chan. Ia dikenal karena menulis puisi Xinxin Ming, yang merupakan salah satu teks Chan tertua yang masih ada. Puisi ini mengajarkan tentang keharmonisan antara kekosongan dan bentuk, serta cara mengatasi pikiran diskriminatif.

Sengcan lahir di provinsi Shandong dari keluarga miskin. Ia menderita penyakit kulit sejak kecil dan sering ditolak oleh orang lain. Ia menjadi seorang biksu Buddha pada usia 20 tahun dan belajar banyak kitab suci Buddha. Namun, ia tidak merasa puas dengan ajaran Buddha yang ia pelajari dan mencari guru yang dapat memberinya pencerahan.

Ia mendengar tentang ajaran Chan dari Huike dan pergi untuk menemuinya. Ia belajar ajaran Chan dari Huike dan menerima Laṅkāvatāra Sūtra sebagai tanda penerusan ajaran Chan.

Sengcan menjadi murid yang setia dan berbakat dari Huike. Ia mewarisi ajaran Chan dari Huike dan menjadi patriark ketiga Chan. Ia juga menulis puisi Xinxin Ming, yang merupakan salah satu teks Chan tertua yang masih ada. Puisi ini berisi ajaran Sengcan tentang keharmonisan antara kekosongan dan bentuk, serta cara mengatasi pikiran diskriminatif. Puisi ini juga menginspirasi banyak generasi Chan selanjutnya.

Sengcan meninggal pada usia 126 tahun di Gunung Luofu di provinsi Guangdong. Ia dikuburkan oleh murid-muridnya di sebuah gua. Sebelum meninggal, ia memberikan Laṅkāvatāra Sūtra kepada Daoxin sebagai tanda penerusan ajaran Chan.

Daoxin: Pendiri Pusat Meditasi Pertama dan Patriark Keempat Chan

Daoxin (580–651 M) adalah murid Sengcan dan patriark keempat Chan. Ia dikenal karena mendirikan pusat meditasi pertama di Gunung Shuangfeng, di mana ia mengajarkan banyak murid. Ia juga dikenal karena mengembangkan metode meditasi yang disebut "duduk diam dan melihat pikiran" (mozhao).

Daoxin lahir di provinsi Jiangxi dari keluarga petani. Ia menjadi seorang biksu Buddha pada usia 14 tahun dan belajar banyak kitab suci Buddha. Ia bertemu dengan Sengcan pada usia 23 tahun dan menjadi muridnya. Ia belajar ajaran Chan dari Sengcan dan menerima Laṅkāvatāra Sūtra sebagai tanda penerusan ajaran Chan.

Daoxin menjadi seorang guru Chan yang terkenal dan berpengaruh. Ia mendirikan pusat meditasi pertama di Gunung Shuangfeng, di mana ia mengajarkan banyak murid, baik biksu maupun awam. Ia juga mengajarkan ajaran Chan kepada para pejabat dan bangsawan, sehingga ajaran Chan mendapatkan dukungan dari pemerintah.

Daoxin mengembangkan metode meditasi yang disebut "duduk diam dan melihat pikiran" (mozhao), yang merupakan salah satu metode meditasi Chan paling awal. Metode ini melibatkan duduk dengan tenang dan memperhatikan pikiran yang muncul dan lenyap tanpa melekat atau menolaknya. Metode ini bertujuan untuk membersihkan pikiran dari segala gangguan dan mencapai keadaan pikiran yang jernih dan damai.

Daoxin meninggal pada usia 72 tahun di Gunung Shuangfeng. Ia dikuburkan oleh murid-muridnya di sebuah gua. Sebelum meninggal, ia memberikan Laṅkāvatāra Sūtra kepada Hongren sebagai tanda penerusan ajaran Chan.

Hongren: Guru dari Banyak Biksu Terkenal dan Patriark Kelima Chan

Hongren (601–674 M) adalah murid Daoxin dan patriark kelima Chan. Ia dikenal karena menjadi guru dari banyak biksu terkenal, seperti Huineng, Shenxiu, Yuquan Shenxiu, dan Lao'an Hui'an. Ia juga dikenal karena mengembangkan metode meditasi yang disebut "menghentikan pikiran dan melihat hakikat" (zhiguan).

Hongren lahir di provinsi Hubei dari keluarga bangsawan. Ia memiliki bakat luar biasa dalam belajar dan berbicara. Ia menjadi seorang biksu Buddha pada usia 7 tahun dan belajar banyak kitab suci Buddha. Ia bertemu dengan Daoxin pada usia 24 tahun dan menjadi muridnya. Ia belajar ajaran Chan dari Daoxin dan menerima Laṅkāvatāra Sūtra sebagai tanda penerusan ajaran Chan.

Hongren menjadi seorang guru Chan yang sangat dihormati dan dihormati. Ia menjadi guru dari banyak biksu terkenal, seperti Huineng, Shenxiu, Yuquan Shenxiu, dan Lao'an Hui'an, yang kemudian membentuk aliran-aliran Chan yang berbeda. Ia juga menjadi guru dari banyak pejabat dan bangsawan, sehingga ajaran Chan semakin berkembang di Tiongkok.

Hongren mengembangkan metode meditasi yang disebut "menghentikan pikiran dan melihat hakikat" (zhiguan), yang merupakan salah satu metode meditasi Chan paling canggih. Metode ini melibatkan menghentikan pikiran dari segala pemikiran diskriminatif dan ilusi, dan melihat hakikat Buddha yang melekat dalam diri semua makhluk. Metode ini bertujuan untuk merealisasikan hakikat Buddha secara langsung dan spontan.

Hongren meninggal pada usia 74 tahun di Gunung Huangmei di provinsi Hubei. Ia dikuburkan oleh murid-muridnya di sebuah gua. Sebelum meninggal, ia memberikan Laṅkāvatāra Sūtra kepada Huineng sebagai tanda penerusan ajaran Chan.

Huineng: Pendiri Aliran Chan Selatan, Patriark Keenam dan Terakhir Chan

Huineng (638–713 M) adalah murid Hongren dan patriark keenam dan terakhir Chan. Ia dikenal sebagai pendiri aliran Chan Selatan, yang menekankan pada pencerahan spontan melalui intuisi langsung. Ia juga dikenal sebagai penulis Platform Sutra, yang merupakan salah satu kitab suci Chan paling berpengaruh. Platform Sutra berisi ajaran Huineng tentang pikiran Buddha, kekosongan, prajna, dan koan.

Huineng lahir di provinsi Guangdong dari keluarga miskin. Ia tidak bisa membaca atau menulis sejak kecil. Ia menjadi seorang pedagang kayu bersama ayahnya. Setelah ayahnya meninggal, ia menjadi seorang biksu Buddha pada usia 24 tahun dan belajar ajaran Buddha dari seorang biksu tua.

Ia mendengar tentang ajaran Chan dari Hongren dan pergi untuk menemuinya. Ia belajar ajaran Chan dari Hongren dan menerima Laṅkāvatāra Sūtra sebagai tanda penerusan ajaran Chan. Ia juga mengikuti kontes puisi yang diadakan oleh Hongren untuk menentukan penerusnya. Ia menulis puisi yang mengungkapkan esensi ajaran Chan secara sederhana dan langsung, sehingga ia memenangkan kontes tersebut.

Huineng menjadi patriark keenam dan terakhir Chan. Ia menjadi pendiri aliran Chan Selatan, yang menekankan pada pencerahan spontan melalui intuisi langsung, tanpa bergantung pada kata-kata atau kitab suci. Ia juga menjadi penulis Platform Sutra, yang merupakan salah satu kitab suci Chan paling berpengaruh. Platform Sutra berisi ajaran Huineng tentang pikiran Buddha, kekosongan, prajna, dan koan. Puisi ini juga mengkritik aliran Chan Utara, yang menekankan pada pencerahan bertahap melalui praktik meditasi.

Huineng meninggal pada usia 76 tahun di Gunung Caoxi di provinsi Guangdong. Ia dikuburkan oleh murid-muridnya di sebuah gua. Sebelum meninggal, ia memberikan jubah dan mangkuk Bodhidharma kepada Yinzong sebagai tanda penerusan ajaran Chan.

Mazu Daoyi: Pendiri Aliran Hongzhou dan Guru dari Banyak Biksu Terkenal

Mazu Daoyi (709–788 M) adalah murid Huineng dan pendiri aliran Hongzhou, salah satu aliran Chan utama pada masa Dinasti Tang. Ia dikenal karena menggunakan metode pengajaran yang tidak konvensional, seperti teriakan, tamparan, atau tongkat. Ia juga dikenal karena mengajarkan doktrin "pikiran bawaan" (zixing), yang menyatakan bahwa semua makhluk memiliki hakikat Buddha sejak awal.

Mazu lahir di provinsi Sichuan dari keluarga petani. Ia menjadi seorang biksu Buddha pada usia 13 tahun dan belajar banyak kitab suci Buddha. Ia bertemu dengan Huineng pada usia 20 tahun dan menjadi muridnya. Ia belajar ajaran Chan dari Huineng dan menerima jubah dan mangkuk Bodhidharma sebagai tanda penerusan ajaran Chan.

Mazu menjadi seorang guru Chan yang sangat populer dan berpengaruh. Ia mendirikan aliran Hongzhou, salah satu aliran Chan utama pada masa Dinasti Tang. Ia menggunakan metode pengajaran yang tidak konvensional, seperti teriakan, tamparan, atau tongkat, untuk memecahkan pikiran rasional dan membangkitkan intuisi murid-muridnya. Ia juga mengajarkan doktrin "pikiran bawaan" (zixing), yang menyatakan bahwa semua makhluk memiliki hakikat Buddha sejak awal, dan tidak perlu mencari atau mempraktikkannya.

Mazu memiliki banyak murid yang belajar ajaran Chan darinya. Beberapa muridnya adalah Linji Yixuan, Baizhang Huaihai, Nanquan Puyuan, Zhaozhou Congshen, dan Huangbo Xiyun, yang kemudian membentuk aliran-aliran Chan yang berbeda.

Linji Yixuan: Pendiri Aliran Linji dan Guru dari Banyak Biksu Terkenal

Linji Yixuan (810–866 M) adalah murid Mazu Daoyi dan pendiri aliran Linji, salah satu aliran Chan utama yang kemudian menjadi Rinzai Zen di Jepang. Ia dikenal karena menggunakan metode pengajaran yang keras dan provokatif, seperti teriakan, tamparan, atau tongkat. Ia juga dikenal karena mengajarkan doktrin "tiga misteri" (sanxuan), yaitu misteri esensi, misteri fungsi, dan misteri non-dualitas.

Linji lahir di provinsi Hebei dari keluarga petani. Ia menjadi seorang biksu Buddha pada usia 20 tahun dan belajar banyak kitab suci Buddha. Ia bertemu dengan Mazu Daoyi pada usia 28 tahun dan menjadi muridnya. Ia belajar ajaran Chan dari Mazu Daoyi dan menerima jubah dan mangkuk Bodhidharma sebagai tanda penerusan ajaran Chan.

Linji menjadi seorang guru Chan yang sangat populer dan berpengaruh. Ia mendirikan aliran Linji, salah satu aliran Chan utama yang kemudian menjadi Rinzai Zen di Jepang. Ia menggunakan metode pengajaran yang keras dan provokatif, seperti teriakan, tamparan, atau tongkat, untuk memecahkan pikiran rasional dan membangkitkan intuisi murid-muridnya. Ia juga mengajarkan doktrin "tiga misteri" (sanxuan), yaitu misteri esensi, misteri fungsi, dan misteri non-dualitas. Misteri esensi adalah hakikat Buddha yang melekat dalam diri semua makhluk. Misteri fungsi adalah ekspresi dari hakikat Buddha dalam segala situasi. Misteri non-dualitas adalah kesadaran bahwa hakikat Buddha dan ekspresinya tidak terpisah.

Linji memiliki banyak murid yang belajar ajaran Chan darinya. Beberapa muridnya adalah Xinghua Cunjiang, Deshan Xuanjian, Guishan Lingyou, dan Huangbo Xiyun, yang kemudian membentuk aliran-aliran Chan yang berbeda. Linji meninggal pada usia 57 tahun di Gunung Linji di provinsi Hebei. Ia dikuburkan oleh murid-muridnya di sebuah gua. Sebelum meninggal, ia memberikan jubah dan mangkuk Bodhidharma kepada Xinghua Cunjiang sebagai tanda penerusan ajaran Chan.

Dongshan Liangjie: Pendiri Aliran Caodong dan Guru dari Banyak Biksu Terkenal

Dongshan Liangjie (807–869 M) adalah murid Yunyan Tansheng dan pendiri aliran Caodong, salah satu aliran Chan utama yang kemudian menjadi Soto Zen di Jepang. Ia dikenal karena menciptakan sistem "lima peringkat" (wujia), yaitu lima cara untuk memahami hubungan antara kekosongan dan bentuk, atau antara absolut dan relatif.

Dongshan lahir di provinsi Hunan dari keluarga bangsawan. Ia menjadi seorang biksu Buddha pada usia 12 tahun dan belajar banyak kitab suci Buddha. Ia bertemu dengan Yunyan Tansheng pada usia 39 tahun dan menjadi muridnya. Ia belajar ajaran Chan dari Yunyan Tansheng dan menerima jubah dan mangkuk Bodhidharma sebagai tanda penerusan ajaran Chan.

Dongshan menjadi seorang guru Chan yang sangat dihormati dan dihormati. Ia mendirikan aliran Caodong, salah satu aliran Chan utama yang kemudian menjadi Soto Zen di Jepang. Ia menciptakan sistem "lima tingkatan" (wujia), yaitu lima cara untuk memahami hubungan antara kekosongan dan bentuk, atau antara absolut dan relatif. Lima Tingkatan tersebut adalah:

- Tingkat pertama: kekosongan dalam bentuk (xuwei). Ini adalah cara untuk melihat bahwa semua fenomena bersifat kosong dari esensi tetap atau substansi inheren.

- Tingkat kedua: bentuk dalam kekosongan (weixu). Ini adalah cara untuk melihat bahwa semua fenomena memiliki bentuk yang berbeda-beda berdasarkan ketergantungan sebab-akibat.

- Tingkat ketiga: kekosongan yang sama dengan bentuk (xuwei). Ini adalah cara untuk melihat bahwa kekosongan dan bentuk tidak terpisah, tetapi merupakan dua aspek dari hakikat Buddha yang sama.

- Tingkat keempat: bentuk yang sama dengan kekosongan (weixu). Ini adalah cara untuk melihat bahwa hakikat Buddha dapat diekspresikan dalam segala bentuk, tanpa terikat oleh konsep atau dualitas.

- Tingkat kelima: kedamaian dan harmoni (zhongdao). Ini adalah cara untuk melihat bahwa semua fenomena adalah ekspresi dari hakikat Buddha yang damai dan harmonis, dan tidak ada konflik atau pertentangan.

Dongshan memiliki banyak murid yang belajar ajaran Chan darinya. Beberapa muridnya adalah Caoshan Benji, Yunju Daoying, Tong'an Daopi, dan Tong'an Guanzhi, yang kemudian membentuk aliran-aliran Chan yang berbeda.

Dongshan meninggal pada usia 63 tahun di Gunung Dongshan di provinsi Jiangxi. Ia dikuburkan oleh murid-muridnya di sebuah gua. Sebelum meninggal, ia memberikan jubah dan mangkuk Bodhidharma kepada Caoshan Benji sebagai tanda penerusan ajaran Chan.

Ajaran Zen di Jepang: Dari Eisai hingga Obaku

Ajaran Zen pertama kali dibawa ke Jepang pada abad ke-12 oleh Myoan Eisai, seorang biksu Jepang yang belajar di Tiongkok. Ia juga dikenal sebagai pendiri aliran Rinzai, salah satu dari tiga aliran utama Zen di Jepang. Ia mengajarkan bahwa meditasi dan penerapan ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-hari adalah cara untuk mencapai pencerahan.

Ajaran Zen kemudian berkembang menjadi tiga aliran utama di Jepang, yaitu Rinzai, Soto, dan Obaku. Aliran Rinzai menekankan pada penggunaan koan, yaitu pertanyaan-pertanyaan paradoks yang digunakan untuk memecahkan pikiran rasional dan membangkitkan intuisi. Aliran Soto menekankan pada praktik shikantaza, yaitu meditasi tanpa objek atau tujuan, hanya duduk dengan penuh kesadaran. Aliran Obaku adalah aliran terakhir yang muncul di Jepang, yang merupakan campuran dari ajaran Chan Tiongkok dan ajaran Buddha murni.

Ajaran Zen menjadi sangat populer dan berpengaruh di Jepang, terutama di kalangan samurai, seniman, dan sastrawan. Ajaran Zen juga mempengaruhi budaya dan estetika Jepang, seperti seni kaligrafi, lukisan tinta, puisi haiku, upacara minum teh, dan taman batu. Ajaran Zen juga diperkenalkan ke Barat oleh para sarjana dan biksu Jepang, seperti D.T. Suzuki, Hakuun Yasutani, Taizan Maezumi, dan Shunryu Suzuki.

Ajaran Zen adalah ajaran yang mengajarkan tentang hati dan pikiran yang menyadari hakikat Buddha yang melekat dalam diri semua makhluk. Ajaran Zen adalah ajaran yang mengajarkan tentang meditasi dan pencerahan spontan yang dapat dicapai melalui intuisi langsung. Ajaran Zen adalah ajaran yang mengajarkan tentang pengintegrasian ajaran Buddha ke dalam kehidupan sehari-hari dengan sikap welas asih, kebijaksanaan, dan kesederhanaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun