Mohon tunggu...
Andri Imam Fauzi
Andri Imam Fauzi Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Traveler

Explore the outdoor

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Situ Gunung, Bukan Sekadar Jembatan Gantung yang Membentang di Ketinggian

2 Juni 2022   23:14 Diperbarui: 3 Juni 2022   22:12 1893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jembatan gantung sepanjang 243 meter itu bukan tujuan akhir, tapi sebagai jalan untuk sampai ke sumber air. Situ Gunung, Sukabumi masih jadi sorotan hingga tulisan ini berakhir. 

Terkenal dengan jembatan gantung yang (terbentang di atas ketinggian lebih dari 100 meter ini) kerap bikin nyali ketar-ketir, ternyata punya hal lain untuk ditelusuri, dipelajari, dan diingat dalam pikir.

Perjalanan singkat satu hari ini bermula di pusat kota yang terkenal dengan hujannya, Bogor. Fajar belum lama menyapa, namun teriknya mulai terasa. 

Denting jam menunjuk angka 08:30 WIB ketika roda kereta bernama Pangrango mulai berputar pelan lalu mengencang sesuai kehendaknya. 

Stasiun-demi-stasiun dituju untuk menjemput dan mengantarkan penumpang ke tujuan yang sama pada jalurnya. Bisa dibilang kereta ini berjalan lambat jika dibanding kereta kelas serupa. 

Akan tetapi, ada satu asumsi yang bisa diterima mengapa hal ini terjadi. 

Pihak yang punya otoritas dalam hal ini, mungkin tak ingin para penumpang melewatkan hamparan pemandangan indah yang terbagi secara adil di sisi kanan atau kiri dari jalur ini. 

Jadi, mau duduk di bagian mana saja, rasanya sama saja. Kereta ini seolah berjalan membelah ciptaan Sang Punya Keindahan. 

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Ya, gunung terbentang di kanan dan kiri kereta, dengan pematang sawah dan pemukiman khas pedesaan yang jadi pelengkap perjalanan.

Bagus? Belum sepenuhnya. Rasanya masih ada hal tersembunyi lainnya, dari balik gradasi hijau kebiruan pepohonan yang ada. 

Benar saja, sungai kecoklatan dengan riak air serta bebatuan yang tampak beberapa kali, jadi buktinya. 

Tak terasa sekian stasiun dijajaki, sampai akhirnya arloji terarah di angka 10:20 ketika roda kereta berhenti. Kita sampai di tujuan pertama, yaitu Stasiun Cisaat. 

Langkah tak henti, berjalan keluar stasiun dengan rasa ambi, perjalanan ini berlanjut dengan jalan kaki, sampai dapat angkutan umum pengganti kereta tadi. 

Sebenarnya, tak perlu bersusah payah dengan menambah jumlah langkah, karena di depan stasiun sudah tersedia berbagai angkutan kota yang akan mengantar kita ke tujuan sebenarnya. 

Namun, bagi saya yang selalu berharap harga murah, rasanya kurang pas kalo harus merogoh kocek lebih dalam hanya karena mau sampai lebih cepat.

Sependengar saya, saat itu penumpang kereta lain yang punya tujuan sama dengan saya, yaitu Situ Gunung dikenai biaya Rp50.000 per orangnya, mereka berempat dan kalian bisa hitung berapa jumlahnya. Mahal? Tentu, bagi saya. 

Oleh karenanya, saya makin yakin untuk mengikuti arahan yang saya dapat sebelumnya, yaitu jalan sebentar ke alun-alun kota sekitar 10 menit lamanya, dan mencari si angkutan berwarna merah (yang saya lihat hanya ada satu-satunya kelompok angkot yang berwarna itu di sana). 

Toh, sepanjang jalan kaki saya bisa menikmati udara segar yang tak pernah saya rasakan di perkotaan, bersapaan dengan warga dan pemukimannya, serta kali/sungai kecil yang setiap mendampingi langkah kaki di sisi kanan. 

Tentunya, secara keuangan, saya akan dapat tarif yang jauh lebih nyaman untuk dikeluarkan. 

Sampai di alun-alun kota, saya langsung masuk ke Jl. Suryakencana, tempat angkot merah itu akan memulai perjalanannya. 

Jangan tanya tarifnya, karena saya hanya perlu membayar Rp10.000 untuk sekali jalannya. Dibanding dengan tarif 4 orang tadi, rasanya pilihan saya tak salah. Kalian bisa mencobanya. 

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Perjalanan angkot ini cenderung mengarah naik, karena tujuan saya memang ada di ketinggian. 

Ya, sudah bisa terbayang bahwa teman sepanjang jalan, kalau bukan kebun di sisi lembah, pasti jalan curam khas perbukitan. 

Kurang lebih 30 menit berkendara, saya sampai di tujuan. Titik tersebut merupakan ujung jalur angkot merah tersebut, sekaligus sebagai pintu masuk untuk kita mulai perjalanan yang sebenarnya. 

Jadi, kalian tidak perlu pusing harus turun di mana, dan mencari patokannya apa karena kita akan berhenti di pangkalnya. 

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Saat saya ke destinasi ini, termasuk hari libur nasional, maka saya dikenakan tarif pintu masuk akhir pekan, yaitu Rp18.500. Kalau hari biasa? Saya kurang tahu, tapi mungkin akan kurang dari nominal itu. 

Ini baru tiket masuk ke kawasannya, belum termasuk biaya tiket utamanya, primadona kita, yaitu jembatan gantung. Saya berjalan kurang lebih 2 menit dari loket pembelian tiket tadi, sampai ke loket satunya lagi. 

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Di loket kedua ini, kita akan disambut oleh petugas yang langsung akan memberikan selembar kertas yang dilaminating, berisi daftar harga dan tujuan yang dicapai. 

Ada tiga jenis rute yang ditawarkan, yang dibedakan berdasarkan warna, yaitu hijau, kuning, dan merah. 

Bingung mau pilih yang mana? Tenang, karena petugas akan memberikan gambaran kepada kita melalui maket yang terpajang di sana. Gambaran rute dan medan perjalanan tergambar jelas di sana. 

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Saya memilih kategori kuning, dengan harga Rp75.000 dengan jarak tempuh 2,5 km. Untuk kategori hijau seharga Rp100.000 dengan jarak tempuh 1,5 km, dan merah seharga Rp50.000 dengan jarak tempuh 3,7 km. 

Pilihan tengah sepertinya bijak di antara keduanya, dan sepanjang jalan kategori hijau dan kuning menjadi pilihan terbanyak pengunjung. 

Saya tahu dari mana? Setiap pengunjung akan diberikan gelang kertas yang warnanya sesuai kategori tiket yang mereka beli. 

Lalu apa gunanya? Bukannya jalurnya sama saja? Tentu, beda. Setiap kategori tersebut punya jalannya masing-masing yang diarahkan oleh papan penunjuk jalan.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Oke, penjelajahan benar-benar dimulai jelang siang. 

Terik? Tentu tidak, karena sepanjang jalan kita terlindungi oleh kanopi pepohonan khas hutan di perbukitan. Yang terasa hanya dua, yaitu suara serangga hutan dan angin yang terhembus dari balik dahan. 

Jangan takut tersesat, karena setiap langkah kita sudah diarahkan oleh jalur setapak yang terbuat dari bebatuan alam. Pun, tak lama berjalan kita akan menemukan berbagai tempat pemberhentian yang sudah sangat matang disiapkan.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Pengelola lokasi ini benar-benar memperhatikan kenyamanan pengunjung. Selain jalur yang dan fasilitas pemberhentian yang mendukung, kita juga akan disuguhkan dengan hidangan sambutan, yaitu pisang dan singkong rebus, yang bisa dinikmati sembari mendengarkan tabuhan sunda tradisional. 

Ini benar-benar suasana bersantai ala pedesaan di bumi Parahyangan. Tak ada batasan waktu kita bersantai di tempat itu, namun balik lagi, mau kalian biarkan jembatan gantung dan tujuan lainnya menunggu kedatanganmu?

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Bergegas melanjutkan perjalanan. Butuh berapa lama untuk sampai ke jembatan gantung utama? Jawabannya, tak sampai jarum menit berputar dan kembali ke tempat kalian terakhir melihatnya, alias tak sampai hitungan jam. 

Kurang lebih 10 menit kita akan disambut pintu masuk jembatan gantung utama yang bertuliskan "Suspension Bridge". Dari tadi saya sebut jembatan gantung utama, memangnya ada jembatan gantung lainnya? Iya, ada satu lagi jembatan gantung di kawasan ini. 

Untuk bisa menyeberangi jembatan ber-sling baja dan beralas kayu ulin Papua ini, kita harus mengenakan pengaman yang akan dipasangkan di bagian pinggang. Fungsinya untuk dikaitkan dengan sling pengaman yang terbentang sepanjang jembatan. 

Langkah pertama dimulai, rasa berdebar muncul berbarengan. Wajar, terutama jika kalian termasuk penakut ketinggian. langkah kedua hingga belasan masih aman, sampai akhirnya menuju tengah jalan, entah angin atau faktor orang berjalan, mengakibatkan jembatan goyang. Ini sensasi yang kalian cari? Bagi saya, tentu ini merupakan sensasi yang segara mungkin harus saya akhiri.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Tapi, di balik kepanikan, ada suguhan hijau permai dari Sang Kehidupan. Kanan-kiri, depan-belakang, dan bawah kita semua hijau, dengan warna seragam. Yang terbayang, oh ini rasanya jadi burung terbang di atas hutan. 

Hampir setiap pengunjung, termasuk saya mengabadikan momen di titik itu. 

Berfoto rasanya jadi kewajiban, tak heran banyak bermunculan foto dengan gaya serupa di jembatan gantung ini di sosial media. Cukup, setelah kebutuhan dokumentasi dirasa usai, segera saya akhiri berlama-lama di jembatan ini. 

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Setelah jembatan ini, lalu usai? Belum. Setidaknya masih ada tiga tujuan lainnya, yaitu Curug Sawer, Situ Gunung, dan jembatan gantung yang berdimensi lebih kecil. 

Saya tidak pergi ke Situ Gunung, dan memilih untuk ke Curug Sawer, lalu mengakhiri perjalanan pulang dengan melewati jembatan gantung yang satunya.

Tak perlu waktu lama sebenarnya untuk beralih ke tujuan selanjutnya (Curug Sawer), karena dengan berjalan 15 menit kita akan sampai di curug cantik di kawasan ini. 

Suara riuh air yang jatuh dari ketinggian terdengar semakin jelas, saat langkah kita semakin mendekatinya. Ternyata, salah satu alasan jembatan ini dibangun, untuk memudahkan kita sampai ke titik ini. 

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Sebelum masuk ke area utama curug, kita akan terlebih dahulu disambut oleh puluhan kios pedagang cemilan, makanan, minuman, dan pernak-pernik. mereka siap menjadi pahlawan jika kita merasa lapar atau haus karena perjalanan. 

Harga beragam, namun tak sampai mencekik kantong, layaknya area makan di berbagai tempat wisata dan hiburan. Dengan kocek Rp10.000 saja kita sudah bisa jajan di area ini. 

Santai sejenak, karena hari masih siang. Hilangkan pegal sesaat, sambil menyiapkan diri untuk bertemu tempat bidadari mandi.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Curug sawer bukan air terjun yang tinggi, tapi untuk volume airnya tak perlu diragukan lagi. Air yang jatuh, bagai tirai putih yang terjuntai, sekaligus seperti tertiup angin di tepiannya. 

Pengunjung disediakan jembatan yang aman untuk dijadikan area mengabadikan momen, tanpa perlu takut basah. Jarak aman antara air yang jatuh dan jembatan tersebut, sekali lagi sudah dipikirkan matang-matang posisinya. 

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Namun, kalau kalian tetap mau menikmati segarnya air ini, bisa menceburkan diri atau setidaknya membasahi kaki di alirannya. bebatuan sungai yang terhampar, siap menjadi pijakan atau sandaran untuk kalian menghela nafas setelah perjalanan barusan. 

Ditambah lagi pepohonan rindang terbentang, rasanya pas jika kita mengujarkan: "Nikmat Tuhan mana lagi yang kalian dustakan?". 

Namun, jika memandangi saja sudah cukup, kita juga bisa lanjutkan perjalanan dengan melalui jalur berbeda dari jalur kedatangan. Jalur ini akan membawa kita ke tujuan akhir, yaitu jembatan gantung yang lain.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Lagi-lagi, dari satu tujuan ke tujuan lainnya tak perlu memakan waktu lama. Kali ini, untuk sampai ke jembatan gantung kedua, kita hanya perlu berjalan kurang lebih 20 menit, dengan medan jalan yang sama. 

Rasanya ini tidak ada apa-apanya, karena sebelumnya perut sudah terisi dan energi sudah kembali setelah bertemu dengan air terjun tadi. 

Singkat cerita, ketika sampai di jembatan kedua ini, rasa berdebar itu datang lagi, tapi dengan kekuatan yang lebih bisa dimengerti, tentu dengan percaya diri yang sedikit banyak mulai terisi.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Bermodal rasa itu, saya memutuskan untuk segera menyeberangi jembatan gantung "mungil" ini, yang tetap dilengkapi dengan pengaman yang serupa dengan jembatan gantung utama tadi.

Dari jembatan ini kita bisa melihat jembatan utama dengan sedikit mendongakkan kepala, karena secara posisi jembatan gantung utama lebih tinggi. Langkah semakin pasti, dan segera sampai ujung jembatan ini. 

Perjalanan menyeberangi jembatan gantung kedua tadi menjadi penutup perjalanan di tempat ini. Hari beranjak sore kita saya sampai di pintu keluar, kembali ke titik tempat saya masuk tadi. Rasanya tak perlu berlama-lama diam di area ini. 

Oleh karena itu, saya kembali menaiki angkutan merah tadi, dengan tarif yang sama, yaitu Rp10.000 untuk sampai ke pusat kota (alun-alun). Berjalan kaki kembali, menuju tempat saya diantar oleh ular besi untuk sampai ke Sukabumi ini. 

Jam menunjukkan pukul 17:30 WIB dan saat itu pula kereta saya berjalan meninggalkan kota ini. Dua jam perjalanan, akhirnya saya benar-benar kembali ke tempat saya memulai perjalanan seharian ini. 

Sekian catatan perjalanan ini.

Video Dokumentasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun