Mohon tunggu...
Andrian Habibi
Andrian Habibi Mohon Tunggu... Konsultan - Kemerdekaan Pikiran

Menulis apapun yang aku pikirkan. Dari keresahan atau muncul untuk mengomentari sesuatu. Cek semua akun dengan keynote "Andrian Habibi".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemantau Pilkada 2020

8 Maret 2020   20:54 Diperbarui: 8 Maret 2020   20:53 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Baca: Pemilihan) adalah pesta demokrasi prosedural dengan nuansa lokal. Pemilihan yang menjadi cara rakyat menentukan pemimpinnya. 

Tetap atau diganti. Pemilih berhak menentukan pemimpinnya secara langsung. Tidak diwakili. Semua masyarakat yang memiliki hak dan syarat memilih dibernarkan menentukan pilihan tanpa paksaan, tekanan, dan/atau diarahkan. Karena setiap pemilih merupakan rakyat yang memegang kedaulatan.

Oleh sebab itu, masyarakat pemilih juga memiliki hak untuk mengawasi calon-calon kepala daerah. Pengawasan bertujuan memastikan setiap peserta pesta demokrasi lokal meyakinkan pemilih dengan cara-cara yang benar. Juga kampanye sesuai aturan perundang-undangan. 

Nah, disinilah letak integritas pemilih dalam merencanakan penggunaan hak pilih. Bukan hanya calon, pemilih juga harus berintegritas. Salah satu teknis yang diajarkan pemikir kepemiluan ialah pemilih mengawasi, memantau, dan melaporkan pelanggaran pemilihan.

Dalam kontek partisipasi masyarakat, sebelum partisipasi memilih, perlu adanya partisipasi dalam tahapan pemilihan. Dari berbagai pendapat ahli pemilu, partisipasi masyarakat, secara umum dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, masyarakat membantu penyelenggaraan dengan cara menyampaikan informasi-informasi pemilihan. 

Dalam hal ini, pemilih cerdas diharapkan menyampaikan informasi tahapan, aturan, dan apa-apa saja yang dilarang. Termasuk bagaimana menggunakan hak pilih dengan cara yang benar. Agar nilai one vote one value dikonversi menjadi suara.



Kedua, masyarakat pemilih ikut serta dalam menjaga integritas proses dan hasil. Pemilih ini disepakati oleh semua pegiat pemilu dengan nama pemantau pemilu. 

Orang-orang ini adalah pemilih cerdas yang memastikan setiap aturan dijalankan oleh Penyelenggara dan peserta pemilihan. Bahkan, pemantau diharapkan bisa menjadi pengingat stakeholder pemilihan, termasuk pemerintah dan pemerintah daerah, untuk menjalankan tugas-tugas pengabdian negara dan pelayanan masyarakat dengan menjaga asas netralitas dan profesional.

Pahlawan-pahlawan demokrasi, seperti Mulyana Wira Kusumah, Pipit W Kartawidjaja, dan akademisi pemilu menyebut kegiatan kedua ini dalam format partisipasi masyarakat yang mandiri, aktif, dan kritis. 

Sehingga, aturan partisipatif tersebut diatur pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. 

Meskipun diatur dalam dua UU, subtansi pemantau pemilu dan pemilihan adalah sama. Hanya secara teknis yang berbeda. Pada pokoknya, pemantau pemilu mendaftar ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Sedangkan dalam memantau pemilihan, pemantau mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).


Sebelum kita membahas pemantau pada pemilihan 2020. Ada baiknya kita mengulas sedikit informasi pemantauan pada pemilu 2019. Dasar hukum pemantau pemilu 2019 termuat dalam Pasal 435, Pasal 437 ayat (7), Pasal 439 ayat (6), dan Pasal 447 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 

Untuk menindaklanjuti perintah UU Pemilu, Bawaslu menerbitkan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) Nomor 4 Tahun 2018. Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin mengatakan, pemantau pada pemilu 2019 merupakan rekor tersendiri. Jumlah lembaga pemantau yang ikut mengawasi pemilu 2019 terbesar sepanjang sejarah. Sekitar 138 lembaga pemantau pemilu, baik dari dalam maupun luar negeri.

Untuk yang mempertanyakan lembaga pemantau pada pemilu 2019. Mungkin saja, mereka tidak berkenan terhadap data dan keberadaan pemantau pemilu. 

Bukan hanya itu, masyarakat dan pemerintah termasuk acuh pada lembaga pemantau. Namun, keberadaannya dicari-cari ketika ada isu-isu "INA Call International Observer". Tetapi itu secuil kisah kerinduan masyarakat kepada pemantau pemilu. Semoga berlanjut di pemilihan 2020.

Untuk pemilihan 2020, KPU mendapatkan beban kerja. KPU harus bisa menjaga jumlah pemantau dari pemilu 2019 ke pemilihan 2020. Meskipun itu berat. Namun, KPU butuh membuktikan slogan "KPU Melayani" yang termasuk melayani masyarakat untuk mendapatkan akses memantau pemilihan 2020. 

Dengan demikian, Tripatrit Penyelenggara Pemilu perlu melakukan pertemuan untuk menjaga hubungan antarpenyelenggara dengan pemantau Pemilihan. Sebagimana hubungan pemantau dengan Bawaslu di pemilu 2019. KPU perlu membuka ruang Egaliter dan akses yang sama terhadap semua pemantau, tanpa pandang bulu lembaga pemantaunya.

Selanjutnya, mengingat lembaga pemantau adalah pemilik amanah Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kewenangan melakukan gugatan pada kasus pemilihan dengan satu pasangan calon, alias pilkada calon tunggal. 

Maka, PKPU Pemantauan sewajarnya membuka ruang kesamaan persepsi antara KPU dengan pemantau pemilu. Belum lagi pola kerja sama yang bisa dibangun berdasarkan program sosialisasi pemilih. Selain itu, program pemantauan pemilu harus memudahkan administrasi dan meringankan beban tugas narasi kewajiban. KPU diharapkan mendahulukan konsep partisipatif dari pada mengusung ego "harus didatangi".

Dilain sisi, Bawaslu yang sudah memiliki kontak, hubungan, dan group-group media sosial dengan pemantau pemilu, diusahakan tetap menjaga komunikasi antara pengawas dengan pemantau pemilu. 

Akan lebih baik, jika informasi hak, tanggungjawab, kewajiban dan program kerja pemantauan pemilihan disampaikan kepada seluruh jejaring. Sehingga Bawaslu ikut membantu KPU untuk memudahkan proses bina hubungan antarlembaga dan mempertahankan subtansi dari tugas "pengawasan partisipatif".

Terakhir, salah satu syarat pemilu demokratis menurut International Idea adalah pemilu yang dipantau oleh pemantau pemilu. Jadi, pemilihan kepala daerah 2020 yang tidak dipantau adalah pilkada yang kurang demokratis.


.......................................................................................
Andrian Habibi adalah paralegal di Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional dan Deputi Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia juga Fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI).

Saat ini Andrian Habibi berstatus mahasiswa Paskasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya dengan program khusus Hukum Tata Negara. Sehari-hari menulis opini terkait hukum, ham, pemilu dan politik. Informasi selanjutnya bisa dilihat melalui email ke andrianhabibi@gmail.com

Foto Pribadi
Foto Pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun