Prabu Diaz, Panglima Tinggi Laskar Agung Macan Ali, Penjaga Kehidupan Bertoleransi di Indonesia
Oleh: Andre Vincent Wenas
Prabu Diaz, sosok unik yang menjadi Panglima Tinggi Laskar Agung Macan Ali Nuswantara Cirebon, enak dan gampang diajak berdialog. Tapi begitu kita bicara soal toleransi, semangatnya langsung berapi-api.
Toleransi, menghargai dan menghormati perbedaan adalah tarikan nafas kehidupan Prabu Diaz. Ini pula yang jadi "reason for being" alasan keberadaan atau "positioning" Laskar Agung Macan Ali.
Komunitas yang berakar di Kasepuhan Cirebon ini boleh dibilang sekarang menjadi yang terdepan dalam menjaga "kerukunan hidup bersama" walau berbeda agama dan sukunya. Penerjemahan "Bhinneka Tunggal Ika" dalam kehidupan nyata sehari-hari, bukan sekedar slogan indah yang digenggam erat Garuda Pancasila.
Ini sebuah komunitas, bukan ormas bukan pula LSM, yang berakar pada sejarah panjang di Nusantara. Mengacu pada sejarah tahun 1527 dimana Fatahilah atas titah Sunan Gunung Jati dengan perjuangan panjang akhirnya berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Prabu Diaz sendiri masih "berdarah biru" dari Kasepuhan Cirebon.
Macan Ali, nama yang mengundang tanda tanya. Seturut cerita Prabu Diaz, dalam Bahasa Sunda kata macan sama dengan singa, istilah yang juga disematkan pada Sayyidina Ali. Sepupu sekaligus menantu dari Nabi Muhammad SAW. Jadi nama Macan Ali ini ada nuansa sakral yang patut diberi penghormatan.
Dalam obrolan saya dengan Prabu Diaz pada suatu malam di "markas" Macan Ali kota Cirebon ia banyak bercerita tentang aktivitas komunitasnya dalam menjaga kehidupan toleransi di bumi Nusantara. Salah satu yang paling berkesan adalah kiprahnya mengawal Thudong, dimana para pendeta Buddha berjalan kaki dari Thailand sampai ke Candi Borobudur di Jawa Tengah.
Ikhtiar yang tidak main-main karena mereka bersama para pendeta Budha itu ikut berjalan kaki. Melintasi di tanah Nusantara. Awalnya sepi perhatian tapi akhirnya mengundang simpati berbagai kalangan. Tua muda dari beragam latar belakang agama menyambut "pejalan kaki" ini di setiap desa dan kota yang dilintasi.
Mereka sangat disiplin, berjalan kaki sesuai rencana dan jadwal yang ketat, target waktu ditentukan, mesti tiba pada hari perayaan di Candi Borobudur. Macan Ali pun setia mengiringi dan mengawal mereka, tanpa kenal lelah dan tanpa pamrih. Salut.