Misalnya yang lagi populer sekarang ada Ali Baharsyah yang kader HTI, Enggal Pamukty yang kabarnya buzzer Partai Demokrat, atau Nirwan Arief kader dari PKS.
Ali Baharsyah dari HTI sudah ditangkap lantaran kasus pornografi (kolektor film cabul). Enggal Pamukty dari Partai Demokrat ternyata pebisnis lendir alias semacam mucikari.Â
Dan Nirwan Arief dari PKS lagi deg-degan walau postingannya sudah ia hapus, tapi dasar netizen +62 yang super duper agresif-kreatif sudah men-screen-shoot semua jejak digitalnya. Wadaauuwww... tinggal tunggu tanggal mainnya nih.
Amat sangat disayangkan energi anak-anak muda itu dihambur-hambur hanya untuk melampiaskan emosi tanpa rasionalitas. Mereka secara membabi-buta mendiskreditkan pemerintahan yang sah. Dalam hal ini menghina Presiden, simbol negara yang sepatutnya dihormati oleh setiap warga negara.
Jelas mengritik berbeda dengan menghina. Siapa pun tahu itu. Kecuali yang sudah gelap mata. Mata hatinya sudah gelap tertutup dendam kesumat, penyalurannya menjadi brutal menerabas batas-batas kesopanan. Logika jadi macet disempal angkara murka yang tak jelas lagi juntrungannya.
Barisan sakit hati ini melancarkan politik sinisme. Berangkat dari suatu narsisisme akut. Pokoknya cuma dirinya sendiri yang cakep, yang hebat. Pemerintahan yang telah dipilih rakyat ini tidak dipandang lagi, apa pun yang diperbuat pasti salah, jelek dan oleh karenanya mesti turun, sekarang. Lho...
Pesan-pesan sinisme yang sama sekali tidak kontributif, berbeda dengan kritik yang sehat, logis, tajam dalam koridor tata-krama intelektual. Egosentrisme yang mencuat jadi narsisisme. Hanya bisa kagum pada diri atau perkoncoannya sendiri, diluar itu pasti buruk rupa. Lalu yang keluar dari hati, pikiran dan mulutnya adalah sinisme.
Sikap ketidak pedulian terhadap permasalahan bangsa, malahan memanfaatkan prahara sosial sebagai wahana mencari popularitas. Mencari-cari perhatian, mendahulukan kepentingannya sendiri yang dibungkus sedemikian rupa seolah membela rakyat.
Ambisi liar yang tidak terbendung, sikap tidak bisa menerima kekalahan, tidak sportif, sikap tidak toleran terhadap kepentingan bangsa yang jauh lebih besar. Mereka seolah berasyik-masyuk dengan dirinya sendiri, gejolak narsisisme berwujud politik sinisme.
Mengutip Yasraf Amir Piliang ('Demokrasi Dialogis' dalam buku, 'Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial', 2003), mereka, "Para politisi yang asyik menggugat, mengumpat, mencaci, menuntut, dan memprotes, tetapi tidak pernah mau mendengarkan, tidak pernah mau diajak bicara, tidak pernah mau dikritik."
Lanjutnya, "Mereka hanyut di dalam dunia perbincangan yang sepihak -- perbincangan monologis (monologism). Mereka pandai  berkata-kata, tetapi tidak pandai mendengarkan. Mereka hanya pandai berbicara untuk dirinya sendiri -- the monologic democracy."