Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kenapa Negara Harus Kalah dari Tekanan Massa?

18 Februari 2020   21:52 Diperbarui: 18 Februari 2020   22:07 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Kenapa Negara Harus Kalah dari Tekanan Massa?*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

"Saya memang marah. Kenapa negara harus kalah dari tekanan massa? Saya pikir ini seperti dagelan. Tiba-tiba saja saya dimasukkan ke penjara. Mana ada dalam sejarah republik ini ada gubernur aktif dimasukkan ke penjara, kecuali kena operasi tangkap tangan atau jadi maling. Saya tidak terima itu." (Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, wawancara dengan Majalah Tempo edisi 15 Februari 2020).

Ya, seharusnya negara tidak boleh kalah dengan tekanan massa. Apalagi cuma dengan segerombolan orang yang ditengarai disetir oleh kelompok kepentingan politik. Kelompok lobster yang langganan membancaki APBD. Berkonspirasi dengan partai politik dan anggota dewan tertentu dalam merancang siasat ayat-mayat yang sangat licik, berbau busuk dan nyata telah membelah persatuan bangsa.

Negara tidak boleh kalah. Mandat dari rakyat untuk memegang kekuasaan politik, yang artinya juga kuasa memonopoli kekuatan paksa (kalau perlu lewat kekerasan), mesti dijalankan dengan penuh amanah. Jangan khianat.

Bertindak adil, bijaksana dan tegas memang tidak segampang simulasi di ruang-ruang pelatihan kepemimpinan. Dalam dunia nyata, politik praktis sarat dengan tarik menarik kepentingan. Kepentingan partai (antar kelompok) maupun kepentingan antar pribadi.

Caranya bisa sangat subtil dan mengecoh, sehingga para petinggi gampang untuk cuci tangan ketika digerebek KPK atau Kejaksaan misalnya.

Mencari titik keseimbangan diantara tarikan kepentingan berbagai pihak itu membutuhkan keberanian dan kejujuran (bravity, guts, nyali, honesty) selain kepandaian dan kebijaksanaan. Untuk kemudian berani mengambil keputusan. Berani melawan arus, berani berbeda.

Keberanian, sebagai keutamaan (virtue) kepemimpinan, memang tidaklah mencapai rumusan yang definitif bahkan dalam dialog intelektual Sokrates dengan Lakhes yang direkam oleh Plato.

Berkali-kali disebut bahwa keberanian adalah tentang  hikmat yang merangkumi semua hal baik dan jahat di dalam perspektif masa apa pun. Keberanian tak bisa dipersempit dalam pengertian tentang hal-hal yang mesti ditakuti dan dipercayai belaka.

Sehingga bila Sokrates berkata, "...memang lebih cocok, menurutku, bila yang mengurusi hal-hal penting [dalam pemerintahan] adalah orang yang memiliki hikmat tinggi," berlaku bagi setiap pemimpin pemerintahan/politik maupun korporasi bisnis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun