Langit malam tampak lebih pekat dari biasanya. Di kejauhan, suara takbir mulai menggema, menandakan bahwa Ramadhan akan segera berakhir. Aku duduk di teras, menatap lampu-lampu kota yang berpendar dalam keheningan. Ada rasa yang sulit dijelaskan---sebuah perasaan yang menggantung di antara syukur dan kesedihan.
Ramadhan ini terasa begitu cepat berlalu. Seperti baru kemarin aku menahan lapar di siang terik, berbuka dengan tegukan air dingin, dan tertawa bersama mereka yang kini mulai terasa jauh. Tapi aku tahu, ini bukan sekadar tentang berlalunya waktu. Ini tentang sebuah kesadaran bahwa mungkin Ramadhan ini adalah yang terakhir---bukan karena ajal, tapi karena keadaan yang tak lagi sama.
Mungkin tahun depan aku tidak akan berada di sini. Mungkin kesibukan akan membuatku lupa bagaimana nikmatnya berbuka dengan mereka yang selalu ada. Mungkin tempat-tempat yang kukenal tak lagi terasa seperti rumah.
Aku menarik napas panjang, mencoba menyimpan momen ini dalam ingatan. Jika ini benar Ramadhan terakhir sebelum segalanya berubah, aku ingin mengingat setiap detiknya---tawa yang tulus, doa yang lirih, dan kebersamaan yang tak selalu bisa diulang. Sebab, tak ada yang benar-benar tahu kapan sesuatu akan menjadi yang terakhir.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI