Di Indonesia, kata "hantu" seringkali menjadi topik perbincangan yang tidak jarang dijumpai. Kita hidup di lingkungan dengan kepercayaan yang kental akan ketakutan terhadap sosok spiritual yang tidak terlihat. Hampir di setiap tempat pasti terdapat cerita menyeramkan mengenai sosok spiritual yang tidak terlihat tersebut. Saya tinggal di Semarang, sebuah kota yang terkenal dengan cerita rakyat tentang Wewe Gombel, seorang perempuan bertubuh besar dan berwajah mengerikan yang suka menculik anak-anak saat maghrib. Banyak warga sekitar yang percaya bahwa Wewe Gombel sering menampakkan wujudnya di Tanjakan Gombel, Kecamatan Banyumanik. Namun, saya sendiri tidak pernah melihatnya.Â
Sekarang zaman sudah berubah sudah sepastinya kita tidak perlu takut lagi terhadap hal-hal tersebut, seperti saya yang sudah tidak percaya hantu ketika berusia 11 tahun sewaktu mengikuti kegiatan perjusa di SD Pangudi Luhur Tarsisius Semarang. Awalnya saya adalah bocah penakut yang takut terhadap hantu.
Lantas bagaimana kisah saya bisa tidak mempercayai hantu?? Tahun ini saya menjadi Mahasiswa Baru Universitas Pandanaran Semarang, Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial, Program Studi Administrasi Niaga. Artikel ini saya tulis dari pengalaman saya pribadi sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar. Keberanian saya muncul ketika saya berusia 11 tahun, saya mengikuti kegiatan Perkemahan Jumat Sabtu (PERJUSA) di SD Pangudi Luhur Tarsisius Semarang yang berlangsung selama 2 hari 1 malam.Â
Kegiatan pada saat itu sangatlah seru dan menyenangkan dan pada malam hari diadakan pentas seni yang diharuskan untuk menampilkan pentas. Saya masih ingat pada malam hari saya dan teman-teman saya pergi ke toilet untuk buang air kecil. Saya menemaninya, tapi ketika giliran saya, tidak ada teman yang mau menemani. Jadi, saya pergi sendiri dengan membawa lampu senter karena sudah malam dan lampu sekolah sudah dimatikan. Saat itu saya mencoba meyakinkan diri bahwa tidak akan ada apa-apa, dan saya berpikir bahwa hantu hanya ada di cerita film.
Malam itu dengan berani saya mencoba membuktikan  pemikiranku tersebut dengan menantang penunggu yang ada disana. Saya matikan lampu senter yang saya bawa dan bersuara dalam bahasa jawa "Reneo njedul tak ndelok rupamu" yang berarti Tampakan dirimu, aku ingin melihat sosokmu, dan setelahnya tidak terjadi apa-apa. Mulai saat itu aku yakin bahwa pemikiranku benar bahwa hantu hanya eksis di cerita film.
Ketakutanku terhadap keberadaan hantu dan hal-hal mistis mulai hilang setelah kejadian saat itu. Ditambah ketika SMK saya dipinjami oleh teman sekelas saya (Moreno Satrio Wibowo) buku karangan Tan Malaka yang berjudul "MADILOG".
Pada bagian Sipnosis buku MADILOG karya Tan Malaka, menyatakan bahwa "Bangsa Indonesia memandang bahwa apa yang terjadi di dunia ini dipengaruhi oleh kekuatan keramat di alam gaib. Cara pandang ini, disebut-sebut oleh Tan Malaka sebagai "logika mistika". Logika ini melumpuhkan karena ketimbang menangani sendiri permasalahan yang dihadapi, lebih baik mengharapkan kekuatan-kekuatan gaib itu sendiri. Karena itu, mereka (masyarakat Indonesia) mengadakan mantra, sesajen, dan doa-doa. Melihat kenyataan bangsanya yang masih terkungkung oleh "logika mistika" itu."