Disclaimer, untuk semua karya fiksi saya: "Cerita ini adalah karya fiksi. Nama, karakter, tempat, dan kejadian adalah hasil imajinasi penulis. Jika ada kesamaan dengan kejadian atau tokoh nyata, itu hanyalah kebetulan semata."
17. Sabtu, 12.35 WIB, gladi bersih berlangsung
Acara gladi bersih sedang berlangsung. Waskita setia membuntuti sang reporter, Yudith bergerak ke sana kemari, melihat event yang dirasa penting, lebih lebih aktivitas sang Bupati Surip yang hari ini tidak seperti biasanya.
Persiapan panitia penyelenggara sudah luar biasa. Panggung hiburan sudah siap digunakan. Dari kursi kursi VIP sampai deretan kursi festival sudah siap. Kuda kuda yang akan direncanakan untuk berhamburan berlarian, sudah siap. Joki joki sudah berdandan bak ala kolonial. Bersih, wangi, putih. Saling mengobrol dengan temannya. Sesekali terdengar tawa cekikian mereka. Bahkan beberapa pengunjung anak anak sudah mulai berdatangan, bermain berlarian di antara kesibukan para panitia.
Siang itu cerah. Angin mulai sepoi sepoi bertiup. Gerombolan awan kecil kecil melintas di atas, membuat beberapa bagian puncak Gunung Pokok Pertama tidak kelihatan untuk beberapa saat. Langit biru. Hutan pinus di lereng jauh Pokok Pertama kelihatan membiru tua. Tampak beberapa ladang botak di sisi Pokok Pertama. Tidak ketinggalan bentangan hitam batu beku tepat di belakang panggung. Tegak berdiri kokoh, seolah olah melambangkan Pokok Pertama yang tidak tergoyahkan. Hitam legam, hanya beberapa garis tipis yang mengarah dari atas ke bawah. Bersih sekali, bahkan lumut, apalagi tumbuhan berdaun, seolah olah tidak diijinkan untuk singgah di batu ini.
Rencana gladi bersih ini akan diawali dengan pra acara berupa pertunjukan musik dari beberapa penyanyi dan grup band, kemudian disusul dengan acara kedatangan bupati dan seremonial, dan acara inti peresmian bangunan Terpadu; mal, perumahan, taman taman, dan arena pacuan kuda. Acara diakhiri dengan pelepasan kuda yang akan berlarian mengarah ke selatan, kemudian berputar memutari komplek Terpadu, dan berakhir di arena pacuan kuda. Acara ditutup dengan makan bersama.
Bapak bupati Surip berdiri tegak sambil membawa sebuah minuman. Dia berada di sebuah ruang bangunan tinggi komplek pacuan kuda, dengan jendela menghadap ke selatan. Dengan jendela yang ia buka lebar-lebar, ia mengamati pemandangan luas di depannya. Ia takjub dan menghela nafas. Pemandangan bentangan kaki Pokok Pertama yang hijau sejurus mata memandang, sampai ke selatan, di batas pantai.
Selang beberapa waktu, ajudannya masuk ruangan. Diserahkannya sebuah nota kertas putih, kecil namun dengan kertas agak tebal. Bupati Surip menerimanya, dan membacanya. Setelah membaca, ia genggam erat kertas itu, kemudian dengan perlahan berjalan mendekati bibir jendela ruangan. Tak terasa, kertas itu menjadi basah, basah oleh keringat Bapak Bupati!
(...bersambung...)