Memulai ulasan ini, saya mengutip Konfusius, "Ketika rakyat semakin miskin sementara pejabat semakin kaya, di situlah keadilan dipertanyakan". Gagasan ini menandaskan bahwa keadilan berarti keseimbangan. Apa yang diterima pejabat harus seimbang dengan apa yang diterima rakyat. Rakyat mengalami kesejahteraan, pun pejabatnya, sama.
Tetapi manakala pejabat semakin kaya, sedangkan rakyat semakin melarat berarti terjadi ketidakseimbangan. Di sana tidak ada prinsip keadilan. Sebaliknya adalah penindasan, eksploitasi, pemerasan, dan manipulasi.
Sebagai sebuah bangsa yang berlandaskan, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia", kiranya kita prihatin atas aksi demo yang terjadi pada Senin, 25 Agustus 2025. Aksi ini terjadi karena wacana kenaikan gaji dan tunjangan DPR. Ini merupakan protes terhadap anggaran negara yang dianggap tidak proporsional, di mana alokasi untuk anggota DPR dinilai lebih tinggi dibandingkan kebutuhan masyarakat yang mendesak.
Rasa-rasanya aksi ini menandakan bahwa kita belum merdeka sebagai sebuah bangsa. Penjajah yang sesungguhnya bukanlah bangsa asing, tetapi para pemimpin sendiri, yang tidak peka dengan penderitaan rakyatnya sendiri. Bahkan mereka mengambil untung atas jabatan yang dimandatkan rakyat. Jabatan dipergunakan untuk mengeksploitasi kepentingan rakyat demi keuntungan dan kepentingan pribadi pejabat.
Tega-teganya para wakil rakyat mewacanakan kenaikan tunjangan perumahan yang cukup besar, sementara masih banyak rakyat yang tidak memiliki rumah atau bahkan kesulitan makan, beban sekolah anak, dan biaya pengobatan yang mahal.
Kenyataan ini membuktikan dua hal. Pertama, para pejabat yang tidak peka dan menindas rakyatnya sendiri. Ketiadaan sensitivitas pejabat memungkinkan mereka hanya mencari peluang untuk memperkaya diri, dengan cara memelaratkan rakyat. Pejabat semakin tajir melintir, sedangkan rakyat makin melarat dalam keterpurukkan ekonomi, sehingga melebarnya jurang pemisah antara pejabat dengan rakyat.
Ini membuktikan bahwa pejabat hanya mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan rakyat. Pejabat semakin kaya sedangkan rakyat semakin miskin. Ketiadaan sarana penghubung antara keduanya menyebabkan gap yang semakin jauh antara rakyat dan wakil rakyat. Rakyat larut dalam penderitaan, sedangkan pejabatnya bereuforia dalam kemenangan atas rakyat.
Kedua, rakyat tidak percaya lagi dengan kinerja para wakil rakyat. Tuntutan yang diusung oleh para demonstran dalam aksi ini mencerminkan ketidakpuasan yang mendalam terhadap kinerja Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu seruan utama adalah untuk membubarkan DPR. Tuntutan ini bukan hanya sekedar petisi, melainkan merupakan pernyataan kolektif tentang frustrasi terhadap perwakilan yang dianggap tidak memenuhi harapan masyarakat.
Pada situasi ini, aksi demonstrasi dapat didukung sebagai upaya untuk menegakkan keadilan. Manakala keadilan hanya menjadi jargon tanpa aksi, dengannya aksi demo adalah cara yang bermartabat untuk mewujudkan rasa keadilan bagi seluruh tumpah darah Indonesia. Tentu harus dalam bingkai hukum sehingga tidak bertentangan dengan regulasi yang berlaku, dalam mana tidak perlu menambah luka dan keterpurukan bangsa.
Pada sisi yang sama, rakyat sedang mengajak para pejabat agar menjalankan amanat penderitaan rakyat dengan tulus dan jujur. Miris rasanya jika rakyat meratap dalam penderitaan, sementara pejabatnya tertawa atau menari kegirangan di gedung parlemen yang terhormat. Gedung parlemen adalah rumah rakyat. Rumah yang seharusnya digunakan untuk mencari dan menemukan solusi alternatif atas kemelaratan rakyat, tetapi bukan tempat untuk menemukan ruang memperkaya diri.