Mohon tunggu...
Andre Adityawarman Kusuma
Andre Adityawarman Kusuma Mohon Tunggu... Traveler yang doyan cerita jalan | Sales Properti | Blogger (Coretan Liar Gue)

Penjelajah dua dunia: perjalanan dan properti. Di sini, saya menuangkan cerita, pandangan hidup, dan pengalaman dari sudut pandang seorang traveler sekaligus praktisi properti.

Selanjutnya

Tutup

Money

Efektivitas Pameran Properti: Antara Biaya Promosi dan Hasil Penjualan

7 Oktober 2025   18:20 Diperbarui: 7 Oktober 2025   18:27 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pameran Properti (Brand Blur) , Source: Koleksi Pribadi

Kenapa Ramainya Stand Pameran Jarang Berujung Closing Nyata

Di setiap mal besar, pameran properti seolah sudah jadi bagian dari dekorasi mingguan. Ada booth megah, tim marketing berseragam, brosur tebal, dan maket besar yang menyita perhatian.
Buat pengunjung, ini terlihat keren "wah, proyek baru lagi nih."
Buat manajemen, pameran jadi bukti konkret kalau tim marketing "bergerak."

Tapi buat orang lapangan yang benar-benar tahu dinamika penjualan, semuanya gak semudah itu.
Pameran sering kali lebih banyak menghasilkan database kosong daripada transaksi nyata.
Yang sering terjadi justru kebalikannya: energi terkuras, biaya promosi membengkak, tapi closing masih nihil.

Dan kalau ada satu dua penjualan terjadi di lokasi, sering kali itu pun karena kebetulan prospek memang sudah siap beli dari jauh hari, bukan karena pengaruh langsung dari event.

Interaksi di pameran lebih sering membangun awareness, bukan langsung menghasilkan closing. , Source: Koleksi Pribadi
Interaksi di pameran lebih sering membangun awareness, bukan langsung menghasilkan closing. , Source: Koleksi Pribadi

"Closing On The Spot"? Mimpi Indah yang Jarang Terjadi

Buat sales yang masih baru, pameran sering dikira ajang emas untuk "closing cepat."
Padahal, kenyataannya jarang sekali ada pembeli yang benar-benar datang ke pameran lalu langsung transaksi tunai di tempat.
Kalau pun ada, itu lebih ke anomali bukan pola yang bisa diandalkan.

Sementara di balik itu, biaya operasionalnya luar biasa besar.
Sewa booth bisa puluhan hingga ratusan juta rupiah. Belum lagi biaya cetak materi promosi, dekorasi, seragam, makan siang tim, overtime, dan transportasi logistik.
Kalau dihitung realistis, satu event bisa menelan biaya setara gaji 2-3 sales selama beberapa bulan.

Jadi, kalau diukur dari sisi ROI (Return on Investment), hasilnya hampir pasti minus.
Tapi lucunya, event tetap jalan terus. Kenapa? Karena di banyak perusahaan properti, pameran bukan lagi soal hasil, tapi soal gengsi dan kebiasaan.

Ritual Lama yang Sulit Ditinggalkan

Pameran udah seperti tradisi turun-temurun di dunia properti.
Bukan karena terbukti efektif, tapi karena dianggap "harus ada."
Buat manajemen, pameran jadi bentuk eksistensi perusahaan. Ada foto-foto dokumentasi, booth besar, maket rapi, tim ramai semuanya terlihat sibuk.

Padahal, di era digital kayak sekarang, aktivitas fisik semacam itu mulai kehilangan daya tembak.
Kalau nggak diimbangi strategi digital yang kuat, hasilnya hanya "pamer aktivitas," bukan pamer hasil.

Ada juga faktor psikologis: anggaran promosi tahunan sudah disiapkan besar-besaran, dan harus dihabiskan.
Nah, pameran adalah cara paling cepat buat "menyalurkan" dana itu, walau tidak efektif.
Makanya, meskipun tiap tahun laporan penjualan dari pameran nggak signifikan, agenda pameran tetap ada.
Karena bagi banyak perusahaan, pameran sudah jadi ritual tahunan yang lebih penting dari logika bisnis itu sendiri.

Model Tim Ramping yang Efisien dan Terukur

Kalau mau bertahan di pasar yang makin kompetitif, strategi pameran butuh revolusi total.
Bukan berarti dihapus, tapi fungsinya harus diredefinisi.
Yang dibutuhkan sekarang adalah tim ramping, efisien, dan penuh akuntabilitas.

Struktur yang ideal biasanya begini:

  • General Manager (GM): Fokus pada arah besar dan strategi jangka panjang.

  • Sales Manager (1 orang): Memimpin tim kecil (4-5 sales inti), memantau target, dan menjaga ritme penjualan.

  • Marketing Communication (3 orang): Inilah mesin utama yang menggerakkan digital ads, konten TikTok, Reels, dan kampanye online.

Dengan struktur ramping, koordinasi lebih cepat, biaya operasional terkontrol, dan setiap orang punya tanggung jawab yang jelas.
Bukan lagi model lama di mana tim besar tampil sibuk, tapi hasilnya tidak terukur.

Alokasi Anggaran yang Lebih Cerdas

Kalau pameran selama ini jadi ritual buang anggaran, maka sekarang saatnya alihkan dana itu ke sistem yang lebih punya arah.
Bukan dihapus, tapi ditempatkan di porsi yang pas bagian dari ekosistem, bukan pusatnya.

1.  Lapisan Fundamental - Branding lewat Billboard

Billboard itu seperti investasi jangka panjang di alam bawah sadar konsumen.
Orang mungkin nggak langsung telepon begitu lihat papan proyekmu, tapi tiap hari mereka melewati dan membaca nama itu.
Semakin sering mereka lihat, semakin tinggi tingkat kepercayaan mereka saat nanti butuh hunian.

Makanya, pasang billboard di titik -titik strategis jalan tol atau simpang utama dengan kontrak jangka panjang.
Mahal? Iya. Tapi efeknya jauh lebih tahan lama daripada sewa booth tiga hari di mal.

2.  Lapisan Aktif -Digital Ads Sebagai Mesin Utama

Iklan digital punya satu keunggulan yang nggak bisa ditandingi pameran: bisa diukur.
Kamu tahu berapa banyak orang yang melihat, klik, isi form, sampai konversi.
Semua transparan dan real time.

Lewat Google Ads, Instagram, dan TikTok, kamu bisa menarget orang yang memang lagi cari rumah atau apartemen bukan cuma pengunjung mal yang lewat.
Dan setiap rupiah bisa diaudit: berapa Cost Per Lead, berapa Conversion Rate, semuanya jelas.

3.  Lapisan Eskalasi - Pameran yang Selektif dan Strategis

Nah, di sinilah pameran menemukan makna barunya.
Bukan lagi event rutin, tapi acara eksklusif yang hanya diadakan dua sampai tiga kali setahun.
Pameran ini bukan untuk menjaring random visitor, tapi untuk menutup prospek yang sudah matang hasil digital campaign.

Prospek yang datang sudah disaring, sudah kenal proyek, tinggal dikasih sentuhan terakhir.
Pameran jadi stage final untuk menegaskan kredibilitas dan membantu pembeli membuat keputusan.

Pameran Properti di Expo Bank. Ramai, tapi belum tentu efektif menghasilkan penjualan. Source: Koleksi Pribadi
Pameran Properti di Expo Bank. Ramai, tapi belum tentu efektif menghasilkan penjualan. Source: Koleksi Pribadi

Sistem Tegas: "Jualan atau Evaluasi"

Semua strategi efisien akan gagal kalau timnya santai.
Makanya, sistem kerja juga harus ketat dan berbasis hasil.

Model yang ideal adalah sistem entrepreneurial sales:

  • Gaji pokok setara UMR, cukup buat hidup, tapi nggak bikin nyaman.

  • Ditambah modal iklan pribadi sekitar Rp1 juta per bulan untuk uji strategi digital.

  • Manajer wajib memantau laporan harian dan hasil prospek setiap minggu.

  • Evaluasi dilakukan tiap dua bulan. Kalau dua bulan gak ada penjualan, ya harus dievaluasi.

Sistem ini kejam buat yang malas, tapi adil buat yang perform.
Karena di dunia sales, hasil adalah segalanya.

Pola Pikir Baru: Dari "Sibuk" ke "Produktif"

Masalah terbesar di banyak perusahaan properti bukan kurangnya tenaga, tapi salahnya fokus.
Mereka lebih sibuk bikin aktivitas daripada menghasilkan hasil nyata.
Tim penuh, pameran jalan, konten banyak tapi konversi nihil.

Sudah waktunya ganti mindset.
Efisiensi bukan berarti pelit, tapi tahu mana yang benar-benar berdampak dan mana yang cuma terlihat sibuk.
Lebih baik punya 5 orang produktif dengan sistem jelas daripada 15 orang yang sibuk bikin laporan tanpa penjualan.

Kesimpulan: Pameran Boleh, Tapi Jangan Jadi Kebiasaan

Pameran tidak harus dihapus. Tapi jangan dijadikan agenda rutin yang habisin budget tanpa evaluasi.
Lebih baik dana disebar ke billboard dan digital ads yang jelas ukurannya.
Pameran tetap boleh, tapi cukup beberapa kali dalam setahun, dengan fokus pada penutupan prospek panas.

Dengan tim ramping, sistem efisien, dan strategi terukur, developer bisa menghasilkan penjualan lebih stabil dan transparan.
Ini bukan soal gaya, tapi soal hasil.
Karena di industri properti, yang dihitung bukan seberapa sibuk kamu tapi seberapa banyak unit yang benar-benar terjual.

Yuk, mampir dan ngobrol lebih banyak di blog pribadi saya, Coretan Liar Gue, tempat saya menuangkan semua isi kepala dan jejak langkah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun