Mohon tunggu...
Ando Prananda
Ando Prananda Mohon Tunggu... Lainnya - Learner

Urban Tourism Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Jamu dan Kegelapan di Sekitarnya

12 Juni 2022   18:29 Diperbarui: 12 Juni 2022   18:41 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jamu dan Kegelapan di Sekitarnya

 

Nathania sedang berada di bandara ketika suara teleponnya melengking. Ia sedang sibuk-sibuknya memilah koper. Memang, saat itu bandara sedang ramai oleh napas-napas manusia. Manusia, yang secara ironis tersesaki oleh keberadannya sendiri. Diangkatnya telepon itu dengan ketergesaan.

"Halo, iya Najma, pesawatku sudah landing, aku menuju pintu utama untuk mendapatkan taksi. Pekerjaanku sudah aku tuntaskan. Aku liburan dulu ya!" kata terakhir ia ucapkan sepersekian detik sebelum ia memencet tombol merah untuk mengakhiri percakapan. Hmm, pekerjaan lagi, gumamnya halus.

Di luar, ia disambut oleh beberapa teriakan supir taksi yang maksud dan tujuannya sama: mencari penumpang. Nathania tak kunjung memilih satu dari sekian berderet mobil berwarna biru muda itu. Matanya menelisik, entah apa yang dilihatnya. Gelagat kebingungan ditangkap oleh pria di belakangnya.

"Halo, sedang cari apa?" tanya pria itu, yang tinggi semampai, berpawakan kurus dan mengenakan kaus bertuliskan #JamuMantap.

Nathania, yang malah semakin linglung, segera menyapa balik. Pria itu ternyata adalah rekan bangku Nathania di pesawat tadi. "Hai." Balasnya datar dan berusaha sebaik mungkin tersenyum.

"Kamu ke Jogja udah ada planning liburan ke mana saja? Kupikir aku melewatkan pertanyaan itu tadi ketika kita berbincang singkat di pesawat," "Oh iya, aku Manik." Kenalnya disertai jabat erat untuk Nathania.

Nathania sejujurnya tidak tahu ke mana ia akan berlibur. Pantai kah, tugu Jogja kah, Gudeg Yu Djum kah? Ia sama sekali tak punya ide. Keberangkatannya kali ini ke Jogja memang impulsif. Sekonyong-konyong ia memesan tiket ketika puas melahap lemburan di kantor kemarin lusa. Ia kemudian jujur kepada Manik perkara itu.

"Hmmm. Manusia. Bagaimana kalo kamu ikut aku cari makan? Di sekitar bandara ini ada salah satu warung makan enak," ajak Manik ramah, sementara lawan bicaranya masih terperangah.

"Ayok, aku traktir kali ini," bujuk Manik.

"Oke. Aku mau makan banyak!" timpal Nathania diikuti gelak tawa keduanya.

Mereka berdua memasuki taksi, menuju ke arah barat bandara New Yogyakarta International Airport. Di perjalanan, mereka melihat geliat bangunan yang sedang dibangun. Tampak jelas, di situ adalah bekas-bekas sawah pertanian yang sekarang beralihfungsi. Di dalam mobil. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Setelah sekitar dua puluh menit perjalanan, tibalah mereka di sebuah rumah makan yang memiliki desain unik. Rumah makan tersebut berbentuk joglo, dengan pohon-pohon lebat di sekelilingnya, membuat rumah makan terlihat adem dan asri.

"Kamu tau rumah makan ini dari mana?"

"Aku sering ke sini."

Kehadiran mereka disadari oleh pemilik warung yang lantas setengah berlari menyambut mereka---lebih tepatnya Manik.

"Ehh, Den Manik, sudah puas liburan ke Bali-nya?" tanya Simbok, sang pemilik sekaligus juru masak rumah makan.

"Sudah mbok, di sana saya sudah bosan makan olahan babi. Bikin kangen masakan simbok,"

"Ah, Den Manik bisa aja,"

"Pesen biasa ya, Mbok, kali ini dua porsi!"

Simbok menjawabnya dengan berjalan menuju dapur.

Nathania yang sedari menginjak kaki hanya bertanya sekali, kini bertanya lebih banyak. Ia bertanya soal pekerjaan Manik, tentang hubungannnya dengan Simbok, tentang tempat yang mereka jejaki saat ini.

"Aku seorang jurnalis," balas Manik, sembari menyulut korek untuk rokok yang tersumpal di mulutnya.

"Sudah empat tahun aku bolak-balik Bali-Kulonprogo. Aku turut mengawal isu pertambangan di sini. Kausku ini dibuat oleh warga asli sini, sekitar satu kilometer. Simbok adalah simbol perlawanan bagiku. Ia adalah orang yang sangat vokal menentang pertambangan yang berpotensi merusak lingkungan. Perjumpaan awalku dengan Simbok bisa dibilang cukup mengenaskan. Saat itu ia sedang diseret-seret oleh aparat karena berdiri di depan mesin penghancur rumah. Rumahnya hancur saat itu. Kemudian, oleh warga setempat, ia didirikan rumah makan sekaligus rumah tinggal. Di balik perangainya yang ramah, ia menyimpan berjuta perasaan terpendam,"

Nathania termangu, sementara jamu sudah tersaji di depannya. Simbok tersenyum, taka da tanda-tanda kenestapaan. Nathania tersenyum getir.

"Jamu ini adalah hasil sumber daya alam di Desa Kadiluwih. Tentu, aku dan kamu, tak akan lagi menikmati jamu ini jika Desa Kadiluwih digusur, Makanya ini cuma kencur, manis, jangan lagi ada yang pahit-pahit di Kadiluwih."

Jamu yang kubeli sebenarnya hanya beras kencur, maklum pahit adalah hal yang kubenci. Berwarna bening, agak kuning, terbilang manis, dan disajikan dengan gelas kecil yang asik. Baunya terasa 'kencur banget', akan sangat mudah mengenalinya. Aku menelannya dengan sangat enteng, hangat pula.

Dokpri
Dokpri

Dari perkataan simbok, mereka terdiam. Matahi kemudian tenggelam. Manik mengisap rokoknya, menatap luar Joglo yang terang. Nathania tidak berani melihat ke arah luar. Di luar cuma ada gelap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun