Mohon tunggu...
Andong GunturMaulana
Andong GunturMaulana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tidak ada profil

seorang pelajar ingin jadi orang yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik dan Milenial

12 Januari 2019   09:09 Diperbarui: 12 Januari 2019   12:25 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Lampost.co

Hidup tidak terlepas dengan politik. Meski kebanyakan orang apatis dengan politik, tetap saja politik tidak akan melepas ikatan dari hidup mereka. Jika topik diskusi mengerucut pada kehidupan milenial, maka banyak aspek menarik untuk disorot termaksuk kehidupan politiknya. 

Kata "milenial" pun masih menjadi perdebatan. Jika merujuk pada sejarah, istilah milenial (juga dikenal gengerasi Y) dipopulerkan oleh dua sejarawan Amerika,yakni William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa publikasinya. 

Rentang usia yang dapat dikatakan sebagai generasi milenial berbeda-beda menurut versinya masing-masing. Majalah Time menilai lahir pada tahun 1980-2000. PEW Reseacrh Center menyatakan lahir di atas tahun 1980. Sedangkan, Majalah Newsweek,menyatakan  generasi milenial adalah mereka yang lahir di antara tahun 1977-1994.

Diluar dari perdebatan itu, harus disadari bahwa generasi milenial memeliki kekuatan dan andil penuh dalam kehidupan politik yang dinamis. Peran milenial dianggap penting bahkan sebagai penentu nasib singgasana para pemangku kepentingan,mengingat pemilih usia 17-38 tahun persentasenya lebih dari setengah jumlah total pemilih pada pilpres 2019 nanti,menurut Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC). 

Namun, jumlah pemilih milenial yang begitu banyak  tidak sebanding dengan keinginan dan niat berkecimpung dalam dunia politik. Terutama pada segmentasi pemilih pemula yang masih duduk di bangku sekolah atau baru saja lulus SMA.

 Tidak selamanya makna berkecimpung dalam dunia politik dikonotasikan sebagai anggota organisasi partai atau mencalonkan diri untuk ikut berkompetisi mendapatkan jabatan publik. 

Berkecimpung dalam dunia politik jika dipahami secara komprehensif dan mendalam adalah sebagai bentuk aktualisasi diri untuk ikut andil berpartisipasi politik sebagai upaya ekspresi pemikiran,gagasan,atau perasaan yang diamini di negara demokrasi. 

Pada dasarnya,ada banyak bentuk partisipasi politik,seperti ikut dalam aksi atau demonstrasi,menjadi aktivis atau pengamat politik,menjadi anggota organisasi kemasyarakatan,mencalonkan diri untuk jabatan publik atau paling tidak memberikan suara sebagai hak warga negara.

Partisipasi dari 'kaum milenial' sering dipandang sinis sebagai kelompok masyarakat yang tidak peduli dengan persoalan politik. Pandangan ini didukung oleh data yang menunjukkan 'kaum milenial' relatif sedikit berminat menjadi bagian dari partai politik serta cenderung memilih menjadi golput dalam pemilu. 

Menurut survei yang dirilis oleh CSIS pada awal November lalu menunjukkan bahwa hanya 2,3%  dari generasi milenial yang tertarik dengan isu politik. Tentu, hal tersebut merupakan sesuatu yang memprihatinkan.

Partispasi yang rendah umumnya tercerminkan dengan istilah golput (golonga putih).  Di kalangan milenial, golput adalah pilihan yang biasa,sebab milenial yang merupakan kumpulan anak muda ini, lebih mengedepankan sikap individualis atau lebih mementingkan diri sendiri. 

Kehidupan milenial lebih tertarik pada pemberitaan seputar life style,film,olahraga,dan media sosial . Sedangakan,perihal pemilu dan isu politik dianggap sebagai urusan orang tua dan tidak sesuai dengan rutinitas keseharian mereka. 

Politik dianggap sebagai barang kuno yang tidak memiliki daya jual. Padahal, golput adalah suatu bentuk kemunduran peradaban berdemokrasi.

Melihat fenomena tersebut,sudah menjadi tantangan bagi kita' kaum milenial' untuk meningkatkan kesadaran berpolitik. Salah satu caranya adalah dengan memberikan pendidikan politik dengan cara-cara kreatif. 

Saat ini, mulai banyak calon-calon legeslatif baik di tingkat daerah maupun pusat yang berasal dari kalangan muda. Dengan adanya kehadiran mereka, harapannya dapat menjadi magnet yang menarik rasa simpati generasi milenial untuk peka terhadap isu politik serta tidak memilih untuk golput.

Meski dipadandang sebagai generasi yang tidak peka politik,tetap saja ada sebagian dari generasi milenial yang aktif bahkan lebih dari generasi tua. Mereka menuangkan gagasan politik dengan memanfaatkan media sosial. 

Pemanfaatan media sosial dianggap lebih praktis karena informasi yang dituangkan tergolong cepat dan meluas. Berbeda dengan metode-metode sebelumnya yang bersifat konvensional dan cenderung memakan waktu yang lama.

Tentu dengan kehadiran media sosial sebagai instumen  dalam sosialisasi politik dapat memberikan sensasi baru yang bermuara pada peningkatan partisipasi politik generasi milenial. 

Pesan yang dikemas menarik serta sarat akan substansi diharapkan mampu memberikan pemahaman bukan sekadar 'nyumbang suara'. Sehingga apa yang menjadi pilihan politik generasi milenial adalah murni karena kesadaran dan bukan karena arahan.

Jumlah pemilih milenial yang tidak sedikit ini jangan pula dijadikan sasaran empuk politisi yang memanfaatkan kondisi idealis pemuda yang mudah sekali dipengaruhi. Perlu sikap yang tegas dalam prefensi politik,alasan memilih dan ketertarikan gagasan. 

Serta mendorong generasi milenial peka politik melalui kampanye antigolput sehingga apa yang disebut pemilu dapat betul-betul mencermikan kehidupan berdemokrasi. Karena pada hakikatnya pemilu adalah bukan soal mencari yang terbaik melainkan mencegah yang terburuk berkuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun