Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Dendang Saluang

28 Januari 2016   16:29 Diperbarui: 28 Januari 2016   16:59 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kretak berdetak si buluh betung, disapa angin bersama musim, dalam belitan lembayung ungu. Tiada hendak melawan, sampai di mana sapa membawa, tetap kembali ke sediakala, menaungi bening telaga, di mana sepat dan berudu berbagi kesegaran. Di atas permukaan. Kadang helai-helai tua luruh mengejutkan.

Tiada mengapa, itu lumrahnya panggilan. Pelukan ibu bumi.

Deru gemuruh si riam sungai, menghambur jatuh dari ketinggian. Berderai indah menghempas cadas. Lantas menyibak segala penjuru, menjadi titik-titik halus bagaikan kabut. Tempias kesegaran menyejukkan sekitar. Tiada pernah menyesal, meski badan menghempas kencang si pualam berselimut lumut pemberian sang penyangga alam. Tiada pula takabur pada yang keras, meski guyuran pecah di atas kepala. Begitu senyum pualam muda. Pada tanah, pada langit di angkasa. Tetap setia bersama aliran sungai, mengubah rona kecoklatan menjadi seputih awan setiap kali hempasan mengenai badan.

Tiada mengapa, itu lumrahnya takdir dijalankan.

Debur memecah ombak di tepian, menghempas pantai tak pernah lelah. Gulung lagi dan hempaskan lagi. Tiada kebosanan di sana. Tiada keterpaksaan di sana, meski sesekali angin mambantu hempasan lebih tinggi. Begitu pula tepian di sisi. Tidak pasir tapi juga lumpur, Tidak akar-akar bakau tidak pula cemara laut. Tetap bersinergi. Sesekali camar berdendang mengintai mangsa. Tetap ‘kan kau lihat keindahan di sana. Keindahan bernama panorama.

Tiada mengapa, sebab itulah indahnya dunia.

Terang benderang si langit siang, disisip jemari hangat cahya mentari, dari ufuk timur ke ufuk barat. Memayungi utara penyanggah selatan. Cukup ia sendiri tanpa kawalan, sebab tiada penghalang pandang, semua jelas terpampang. Lain siang lain pula malam. Takhta berlanjut pada rembulan, singgasana dihiasi kerlip mengintip ribuan bintang. Dan ia memang perlu teman, sebab selimut gelap menuntut banyak perhatian.

Tiada mengapa, sebab itulah bentuk lain indahnya pergantian.

 

-o0o-

Saluang; alat musik tradisional Minang yang mirip seruling. Berbeda dengan seruling, saluang tidak memiliki sekat di kedua ujungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun