Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cermin | Mas

12 Januari 2018   01:59 Diperbarui: 13 Januari 2018   17:46 1248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: @the_business_rules

Januari bukan bulan yang baik buat menunggu, Mas. Februari juga bukan. Tapi bulan-bulan lainnya juga tak pernah menjadi bulan buruk jika itu kulakukan untuk menantimu. Aku malah akan merasa aneh bila bulan ini aku menunggu yang bukan kamu.

Aku memang bisa tersiksa api matahari, Mas. Terguyur hujan awan di atas kepalaku. Bisa kau bayangkan aku meratap tanpa bersuara, tapi, aku, Mas, sudah sedemikian kuyupnya menantimu. Jangan katakan aku tak berusaha.

Dalam tiap jengkal penting peristiwa dalam hidupku, selalu bertujuan. Tapi mencintaimu itulah masalah lain yang menimpaku. Kukira aku orang yang pandai mencari solusi untuk kemudian mengurutkannya seperti benang yang kuurai untuk menemukan ujung masalah. Tapi ternyata aku salah. Kau tak berujung, aku tak menemukan pangkalmu.

Ingin sekali kukatakan padamu: aku rindu jadi kanak-kanak lalu. Sekali lagi boleh bermain dan melupakan identitasku. Bukan karena kau tak mengatakan layak ditunggu, dan aku meninggalkanmu dengan cara mencari mainan baru. Bukan itu, Mas. Menunggumu juga bisa jadi kegiatan menarik. Namun, Mas, aku ingin menantimu, tidak dengan cara seperti itu.

Aku tak ingin menantimu bagai seorang bocah cemas di ujung ruang tunggu rumah sakit. Meski kubilang aku bocah yang suka menanti. Benar-benar menyukainya. Aku hanya tak menyukai tujuannya. Kau seorang yang tak mudah ditebak, yang bersembunyi, tidak pernah berniat memberitahuku kapan berakhirnya permainan ini.

Mas, berhenti memandangku seakan-akan aku telah membuatmu sempurna. Aku akan menantimu tanpa menyerah, aku bersumpah sekali pun kau bukan yang sempurna untukku.

Sejak awal, aku sudah tahu tak akan mendapatkan pelajaran apa-apa dari permainan ini, penantian ini sepenuhnya tak akan membawaku kemana-mana. Tapi jangan membuatku menderita, Mas, karena tidak menantimu sama saja aku mengotori kesetianku sendiri. Kupikir aku masih terlalu muda untuk bisa menantimu seribu tahun lagi.

Kadang-kadang aku bahkan merasa kau hanya sedang tertidur lelap, yang sewaktu-waktu bisa bangun, yang kunanti-nanti betul kau bangun.

Akan tetapi, Mas, berapa lama pun kau butuhkan waktu untuk tidur dan bermimpi, itu tak penting lagi. Buatlah dirimu nyaman, Mas, itu yang ingin kukatakan, "Aku di sampingmu jika kau butuhkan." Tidak kemana-mana. Seperti sejak awal permainan ini mulai.

Tidurlah barang sepuluh ribu tahun lagi, Mas, kalau kau mau. Berdoa saja semoga umurku sepanjang itu agar terus terjaga mengawasimu. Menanti dan menyaksikan senyum dalam pulasmu.

Aku akan menantimu, Mas, karena aku penggemar terbesarmu. Lihat aku, perhatikan baik-baik, aku di sampingmu menanti setiap hari berganti kau membuat perubahan.

Andi Wi

12 Januari 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun