Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Novel | Bagian-bagian yang Kita Sederhanakan

20 April 2016   23:34 Diperbarui: 23 April 2016   02:20 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cangkir kopi yang kemarin belum sempat kukembalikan ke dapur masih tertata rapi di atas meja bersama ubi goreng yang kumakan beberapa potong. Kau tahu, ibu tak ada di sini. Tak ada ia yang tengah menonton televisi dan pertandingan team kesayangannya. Tak ada. Kecuali aku menciptakan ibu dalam dunia pikiranku.

Sebelum menciptakan ibu, aku sempat ingin menciptakan ayah, namun ketika ingin dan berusaha memulai, ibu, telah lebih dulu pergi di suatu sore yang rintik. Semenjak saat itu, ingatan tentang ibu, tarian ibu, suara cempreng ibu, sandal-sandal yang menopang kaki-kaki ibu, kucing setia milik ibu, seluruhnya adalah milik ibu tanpa ayah. Tak ada sesuatu yang berarti yang ditinggalkan ayah di rumah ini. Setidaknya di kepalaku. Ia dulu memang ada, kuat, seperti pohon jambu air mandul yang tumbuh dan ditanamnya sendiri di depan pekarangan rumah kami, sementara karena si pemilik lelah menunggu pohon itu berbuah, akhirnya ia berhenti berharap dan dilupakan. Aku telah melupakannya namun ia tetap diijinkan tinggal, tentu di luar pekarangan rumah kami, di luar pekarangan pikiran kesadaran kami.   

Aku menuju sofa tempat ibu menonton televisi dan duduk di sampingnnya. Mengambil sepotong ubi goreng yang dingin. “Kau dari mana, sih?! Bau begini,” tanya ibu sambil mendengus dan menjepit hidungnnya dengan telunjuk dan ibu jari tangan kiri.

“Hutan,” jawabku sambil memasukan ubi goreng ke dalam mulut dan berbaring di paha ibu—yang sesungguhnya adalah boneka beruang cokelat besar.

“Semalam ada temanmu yang ke sini.”

“Siapa?”

“Perempuan. Ih, mandi gih!”

Ibu bangkit dari sofa. Aku menyangka ibu kecewa karena team kesayangannya mustahil dapat menambahkan 2 gol terakhir di menit-menit kritis di akhir babak dua. Atau barangkali, ia tak tahan menahan tubuhnya lebih lama mencuim aroma bau busuk manusia purba di dalam tubuhku.

“Kau mau kemana?”

Ibu menuju ke dapur. “Bikin teh. Kau mau?”

“Boleh!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun