Terakhir, peluang lolos dihitung dengan mengalikan kombinasi hasil dua laga tersisa (3 3 = 9 kemungkinan), menghitung poin akhir tiap tim, lalu menentukan distribusi slot dua besar. Hasil agregatnya: P(Indonesia finis top-2) 0,2359 = 23,6%.
Angka ini tentu bukan vonis Tuhan, melainkan hasil peluang yang terjadi dari keputusan-keputusan yang dibuat di ruang rapat dan konferensi pers. Akan tetapi, apa artinya?
Peluang Lolos yang Sangat Rendah
Angka 23,6% ini sebenarnya adalah tamparan, setidaknya bagi orang yang tidak dalam kondisi denial. Ia menunjukkan bahwa di balik seragam baru, bendera besar, dan parade naturalisasi, PSSI hanya sibuk bermain drama dengan kalkulator yang tidak bisa disogok. Federasi ini tampak lebih nyaman mengatur pencahayaan panggung ketimbang memperbaiki mesin sepak bola yang berkarat. Setiap press release yang menjanjikan "harapan baru" hanyalah pengulangan narasi kosong dari elite olahraga yang menukar pembangunan jangka panjang dengan popularitas sesaat.
Inilah moral dari perhitungan sederhana itu, dan rumus tidak mengenal pencitraan. Model matematis ini hanya menerjemahkan kinerja nyata menjadi angka dingin -- dan angka itu tidak berpihak. Jika PSSI dan Erick Thohir sungguh ingin mengubah takdir, mereka harus berhenti mengatur wajah di depan kamera dan mulai mengasah dasar sepak bola nasional. Pelatih harus dididik, liga harus bersih, pembinaan harus hidup, dan kontinuitas harus dijaga. Tanpa itu semua, setiap kemenangan hanyalah ilusi sementara di layar LED stadion -- sebelum statistik, sekali lagi, menuliskan kebenaran yang pahit: bahwa sepak bola Indonesia kalah bukan karena takdir, tapi karena kebodohan yang dibungkus kebanggaan.
Jika Anda ingin membaca detail  perhitungan dari model matematis ini, Anda bisa mengakses pada tautan ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI