Mohon tunggu...
Andi Ronaldo
Andi Ronaldo Mohon Tunggu... Konsultan manajemen dengan ketertarikan pada dunia keuangan, politik, dan olahraga

Writing is not just a hobby, but an expression of freedom. Through words, we can voice our thoughts, inspire change, and challenge boundaries without fear of being silenced.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Balik Nada Syahdu dan Kisah Lahirnya Lagu "Abide with Me"

10 Mei 2025   16:17 Diperbarui: 10 Mei 2025   16:17 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emeli Sande yang sedang menyanyikan himne Abide With Me pada Olimpiade London 2012

Setiap insan, dalam perjalanan hidupnya, pasti pernah merindukan sandaran jiwa, suatu kebutuhan universal yang dapat dijawab oleh berbagai karya seni, termasuk lagu himne Kristen "Abide with Me" atau "Tinggallah Sertaku." Selama lebih dari 170 tahun, kidung ini telah menjadi sumber kekuatan dan penghiburan bagi jutaan jiwa, menawarkan keteduhan di kala resah dan harapan di kala putus asa. Pesan intinya tentang pencarian kehadiran ilahi di tengah kegelapan hidup telah melampaui batas-batas denominasi dan bahkan agama lain. Di balik liriknya yang menyentuh, terdapat kisah Henry Francis Lyte, seorang pendeta Anglikan dan penyair Skotlandia yang hidup antara 1 Juni 1793 dan 20 November 1847. Hidupnya diwarnai perjuangan melawan penyakit tuberkulosis yang menggerogoti kesehatannya dan kidung "Abide with Me" ditulis pada tahun 1847, ketika kondisi kesehatan Lyte menurun drastis. Satu versi menyebutkan Lyte menulisnya setelah kebaktian terakhirnya di Brixham, Inggris, sebelum berencana ke Italia untuk pemulihan yang akhirnya tak pernah tercapai. Versi lain mengaitkan inspirasi awal pada tahun 1820, dari sahabatnya yang sekarat, William Augustus Le Hunte, yang terus mengucapkan "abide with me..." Apapun versi awalnya, penderitaan pribadi Lyte menjadi katalisator karya monumental ini. Inspirasi utama lirik lagu "Abide with Me" bersumber dari Injil Lukas 24:29, di mana dua murid Yesus mendesak-Nya, "Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam..." Melodi "Eventide" yang ikonik pada lagu ini diciptakan oleh William Henry Monk pada tahun 1861, konon dalam sepuluh menit di tengah duka atas kematian putrinya. Kesederhanaan melodi ini, yang hanya menggunakan enam nada dasar, justru menjadi kekuatannya. Dan, "Abide with Me" pertama kali dinyanyikan secara publik pada upacara pemakaman Henry Francis Lyte sendiri pada tahun 1847, menandai dimulainya perjalanannya sebagai lagu penghiburan di saat-saat paling rapuh.  

Permohonan Abadi dalam Kerapuhan Insani Melalui Lagu "Abide with Me"

Untuk memahami kedalaman pesan "Abide with Me," kita perlu menyelami beberapa bait kunci dari versi Bahasa Indonesia. Bait pertama, "Tinggal sertaku; hari t'lah senja; G'lap makin turun; Tuhan tinggallah!", menggunakan metafora "senja" untuk melambangkan masa sulit, usia senja, atau ajal. Dilanjutkan dengan pengakuan, "Lain pertolongan tiada kutemu: Maha Penolong tinggal sertaku!", lagu ini juga menjadi seruan akan "Help of the helpless". Bait kedua merefleksikan kefanaan hidup manusia: "Hidupku surut, hariku genap; Nikmat duniawi hanyut dan lenyap; Tiada yang tahan, tiada yang teguh: Kau yang abadi tinggal sertaku!". Di tengah kefanaan tersebut, Tuhan menjadi Pribadi yang tidak berubah, "O Thou who changest not". Bait selanjutnya menyuarakan kebutuhan akan Tuhan dalam melawan pencobaan, "Kau kuperlukan tiap-tiap jam. Untuk melawan Iblis yang kejam...". Puncaknya, bait terakhir mengarah pada kemenangan akhir atas tantangan hidup: "Sinar salibMu, waktu ajalku, Yang t'rus memimpin sampai surgaMu; Fajar menghalau awan yang semu: Tuhan, tetaplah tinggal sertaku!" Bait ini juga sering dihubungkan dengan seruan kemenangan atas maut dalam 1 Korintus 15:55. Konsep "tinggal sertaku" menyiratkan hubungan dua arah yang aktif, sebagaimana ajaran Yesus pada Yohanes 15:4, "Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu". Tema-tema universal seperti kebutuhan akan pendampingan Ilahi, penghiburan, kekuatan, dan harapan kekal menjadikan kidung ini relevan bagi siapa saja. Pesan sentralnya terletak pada dunia yang penuh perubahan (Change and decay), serta keberadaan sosok Tuhan yang tidak pernah berubah (O Thou who changest not) dan menjadi jangkar stabilitas atau sumber pengharapan.  

Gema "Abide with Me" dari Stadion Megah Hingga Hati Generasi Muda

Keistimewaan lagu "Abide with Me" terletak pada kemampuan gemanya dalam berbagai konteks. Salah satu penampilan paling dikenang terjadi saat pembukaan Olimpiade London 2012, dinyanyikan oleh Emeli Sand untuk mengenang korban serangan teroris 7 Juli 2005 dan disaksikan hingga lebih dari 1 miliar orang di seluruh dunia. Di Inggris, kidung ini juga menjadi tradisi sebelum final Piala FA sejak 1927 dan Liga Rugby sejak 1929. "Abide with Me" mengiringi pemakaman tokoh dunia seperti Raja George V, Ratu Mary, dan bahkan juga disukai Mahatma Gandhi. Dalam konteks militer, kidung ini dinyanyikan pada Hari Anzac di Australia dan Selandia Baru. Perawat Edith Cavell, yang dikenang karena merawat prajurit terluka dari kedua belah pihak tanpa diskriminasi selama Perang Dunia I, menyanyikannya sebelum eksekusinya dalam oleh Tentara Kekaisaran Jerman, dan Bala Keselamatan memainkannya di Ground Zero setelah tragedi 9/11. Kidung ini juga menghiasi misa pernikahan Ratu Elizabeth II pada 20 November 1947 di Westminster Abbey.

Di era digital, lagu abad ke-19 ini tetap relevan bagi generasi muda yang menghadapi ketidakpastian, tekanan media sosial, dan isu kesehatan mental. Pesan tentang Pribadi yang "tidak berubah" menawarkan stabilitas. Di tengah kesepian, permohonan "Abide with Me" menjadi seruan akan persahabatan sejati. Lirik seperti "Ills have no weight, and tears no bitterness... I triumph still, if Thou abide with me" menginspirasi ketahanan di tengah berbagai pencobaan. Bagi pencari makna spiritual, kidung ini mengarahkan pada sumber transenden. Melodi "Eventide" yang sederhana dalam lagu ini menawarkan ketenangan di tengah kebisingan modern. "Abide with Me" menjadi undangan untuk menemukan kekuatan dalam kidung abadi ini, bukan hanya tentang menghadapi akhir hayat, tetapi menjalani setiap episode kehidupan dengan kesadaran akan kehadiran Ilahi yang konstan, yang memberikan makna dan keberanian di setiap "senja" kehidupan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun