Mohon tunggu...
Andini Okka W.
Andini Okka W. Mohon Tunggu... -Work for a cause not for an applause-

- a teacher, a humanist, and a lifetime learner -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dari Pom Bensin ke Prasasti Luitan, Apa Benang Merahnya?

30 Mei 2025   16:50 Diperbarui: 30 Mei 2025   16:50 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi, ternyata bukan hanya penjajah yang salah, tapi juga orang-orang kita sendiri yang waktu itu sudah mulai menyalahgunakan wewenang.

Dan Ternyata... Cerita Itu Sudah Ada Sejak Tahun 901 Masehi

Dan kalau para pembaca pikir praktik semacam itu cuma ada di era kolonial, ternyata jauh sebelumnya pun sudah ada. Yang paling membuat saya terkejut adalah penemuan prasasti Luitan, yang ditulis pada tahun 823 Saka atau 901 Masehi, di masa kerajaan Mataram Kuno saat dipimpin oleh Raja Dyah Balitung.

Prasasti Luitan, Sumber Wikipedia
Prasasti Luitan, Sumber Wikipedia

Prasasti Luitan ditemukan di Cilacap, Jawa Tengah, pada 1976. Isi prasasti ini terdiri dari 13 baris yang ditulis menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuno.

Pada intinya, Prasasti Luitan berisi tentang korupsi yang dilakukan petugas pajak dengan cara memanipulasi pengukuran sawah. Penduduk Desa Luitan yang termasuk wilayah Kapung, menghadap Rakryan Mapatih I Hino. Mereka mengaku tidak sanggup membayar pajak sebanyak yang telah ditentukan.

Para petani di Kapung memprotes karena tanah mereka diukur dengan satuan tampah yang lebih kecil dari standar, sehingga pajak yang dikenakan menjadi lebih besar. Menurut pengukuran awal, luas tanah 40,5 tampah dengan pajak 243 dharana. Setelah mengadu ke Rakryan Mapatih i Hino dan Rakryan i Pagerwesi, dilakukan pengukuran ulang dengan satuan tampah yang benar, dan luas tanah sebenarnya hanya 27 tampah, sehingga pajaknya hanya 162 dharana. Terbukti pejabat pajak memanipulasi ukuran demi keuntungan pribadi, dengan selisih keuntungan mencapai 33,3 persen.

Satu Dharana setara dengan 2,5 gram perak. Sementara satu tampah setara dengan 6.750 - 7.680 meter persegi.

Raja kemudian turun tangan, dan tanah itu dijadikan sima alias bebas pajak. Sebuah langkah yang menunjukkan bahwa dari dulu pun, pemimpin bisa berpihak pada rakyat ketika kebenaran diperjuangkan.

Jadi, Ini Bukan Sekadar Soal Harga BBM

Kalau hari ini kita masih pusing melihat harga BBM naik turun, mungkin memang wajar. Tapi di balik angka-angka itu, ada sejarah panjang soal kekuasaan, kepercayaan publik, dan pola-pola yang berulang. Dan mungkin, justru karena itu kita perlu lebih sadar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun