Mohon tunggu...
Andiko Nanda Fadilah
Andiko Nanda Fadilah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa S1 Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

Mahasiswa S1 Pendidikan Sosioogi FIS UNJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Pedagogi Alternatif dalam Menghadapi Learning Loss di Indonesia

1 November 2022   19:03 Diperbarui: 1 November 2022   19:06 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

BAGIAN TEMUAN DAN ANALISIS

Saat ini, tidak ada yang lebih berbahagia menyambut pembelajaran tatap muka selain stakeholder pendidikan yang sudah menanti sejak lama.

Siapa yang menyangka kalau kemunculan Covid-19 di Wuhan, Tiongkok yang semula dikira penyakit flu biasa karena kultur kuliner menjadi pandemi yang dampaknya sangat merepotkan hingga seluruh dunia?  Pandemi yang menjatuhkan banyak korban jiwa tersebut telah berhasil menjadi patologi sosial dan memaksa masyarakat menciptakan normal baru dalam berinteraksi.

Interaksi tidak menjadi nyata dan berpindah ke medium maya--sebuah medium yang diawal kemunculannya selalu diragukan dengan narasi "menjauhkan yang dekat". Sendi-sendi kehidupan konvensional dipaksa beradaptasi dengan cepat untuk segera beralih ke medium maya, beberapa bertahan dan sebagian banyak yang kandas. 

Ketakutan terus bersuara dan disuarakan, begitupun dengan ketidakpedulian yang semakin menunjukkan dirinya secara harfiah.

Hingga tulisan ini ditulis, pembelajaran sudah 100% tatap muka ditambah dengan aktivasi kembali kegiatan ekstrakurikuler dan pendidikan informal. Seharusnya, jika dibandingkan dengan semua akivitas yang kembali normal, sektor pendidikan-lah yang harus mendapatkan perayaan paling megah, mengingat perjuangan untuk terus-menerus memerpanjang napas pendidikan tidak pernah mengenal kata mudah, sekalipun berada dalam keadaan yang ideal.

Terhitung sudah 2 tahun pandemi berjalan, selama itu pula huru-hara dalam pendidikan yang dilaksanakan daring tidak kalah riuhnya. Perjalanan panjang para guru, tenaga pendidik sukarelawan, dan stake holders yang bekerja keras untuk tidak memutus rantai pendidikan kepada peserta didik saat masa-masa tersulit demi meminimalisir kasus aktif sangat menjadi tindakan heroik. 

Pasalnya, kegiatan mendidik tidak seharusnya hanya menyampaikan materi, melainkan juga mendidik perilaku, dan bayangkan saja tetap harus melakukan tugas tersebut yang dihadapkan dengan hidup dan mati.

Banyak berita yang menyoroti tentang disparitas teknologi, yang selanjutnya menjadi rintangan guru dalam menyelenggarakan pembelajaran asinkronus atau PJJ.

Kasih (2020) memberitakan bahwa tidak semua murid memilki gawai untuk mengikuti PJJ, dan jika ada, disparitas teknologi menjadi penghalang berikutnya, yakni tidak adanya sinyal di wilayah Indonesia selain kota-kota besar, sehinga bantuan kuota yang diberikan Kemendikbud menjadi tidak efektif.

Masalah menjadi lebih pelik di wilayah Indonesia timur yakni Papua. CNN Indonesia (2020) memberitakan keadaan di sana yang sangat terbatas medianya (listrik, internet, dan gawai), birokrasi (tidak adanya pemfokusan ulang dana pendidikan), tenaga pendidik (18 ribu guru untuk 600 ribu murid dan hanya dapat menyelenggarakan pelatihan sebanyak 500-800 guru), alih teknologi (pengoperasian gawai pada murid dan guru, serta 31,46% wilayah belum terfasilitasi internet), dan penyediaan solusi yang tidak mumpuni (pemetaan survei kesulitan fasilitas).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun