Sampah organik: dijadikan kompos, pakan maggot, pakan ternak (ayam dan ikan), bahkan bahan biogas.
Sampah anorganik: dikelola melalui bank sampah, dijual sebagai rosok, atau diolah menjadi produk kreatif (kaligrafi dari plastik, sandal multilayer, gantungan kunci, hingga trifting pakaian bekas).
Ekonomi sirkuler: dari hasil penjualan, KPS mampu menghasilkan omzet bulanan puluhan juta rupiah yang kembali digunakan untuk operasional dan pemberdayaan santri.
"Pesantren bisa mandiri kalau sampahnya dikelola. Yang tadinya dianggap masalah, justru jadi berkah. Bukan hanya lingkungan bersih, tapi juga ada nilai ekonomi dan keberlanjutan," jelas Andika Muhammad Nuur di hadapan peserta.
Adaptasi Budaya Santri: Perubahan Nyata dalam 3 Bulan
Salah satu hal yang menjadi perhatian dalam pelatihan ini adalah proses adaptasi perubahan budaya santri. Awalnya, banyak yang ragu bahwa santri bisa disiplin dalam memilah dan mengolah sampah. Namun KPS membuktikan bahwa dengan edukasi, pembiasaan, dan keteladanan, perubahan besar bisa terjadi.
Dalam kurun waktu tiga bulan, budaya santri Pondok Pesantren Krapyak mengalami transformasi nyata:
Dulu: Sampah sering berserakan di asrama dan halaman. Tong sampah penuh bercampur tanpa pemilahan.
Kini: Santri terbiasa memilah sampah organik,anorganik (27 pilahan lainya), membawa sampah ke TPS pesantren, bahkan ikut mengolahnya di unit KPS.
Dulu: Kebersihan dianggap tugas petugas pesantren.
Kini:Â Santri merasa memiliki tanggung jawab bersama. "Kebersihan bagian dari iman" benar-benar menjadi praktik hidup sehari-hari.