Di sebuah gang sempit di Jakarta, seorang remaja duduk di sudut kamar kecilnya. Jari-jarinya lincah menari di atas kertas, menuangkan mimpi-mimpinya dalam bentuk kata. Dialah Rangga, seorang remaja berusia 18 tahun, yang bercita-cita menjadi penulis.
Namun, mimpinya selalu dianggap remeh oleh orang tua mereka.
“RANGGA! KEMARI KAU!”
Suara ibunya menggelegar dari ruang tamu. Rangga terkejut, buru-buru menutup bukunya dan keluar. Di sana, ibunya berdiri dengan wajah penuh amarah, menggenggam buku tulis miliknya.
“Kau masih menulis hal nggak berguna ini?” bentaknya, melempar buku itu ke lantai.
Rangga menunduk, tak berani menjawab. Tapi ayahnya sudah melangkah mendekat.
PLAK!!!
Tamparan keras mendarat di pipi Rangga. Ia terhuyung ke belakang.
“Berapa kali kami bilang, kau harus belajar! Bukan sibuk berkhayal jadi penulis!” suara ayahnya tajam.
Rangga mengepalkan tangannya. “Aku suka menulis, Ayah. Apa itu salah?”
“Salah! Itu Cuma buang-buang waktu!” bentak ibunya. “Kau harus jadi PNS, hidup mapan. Bukan menulis yang nggak jelas masa depannya!”