118 Calon Pengawas Sekolah yang gagal dilantik bukan sekadar angka. Mereka adalah bom waktu yang diam, tersebar di ratusan sekolah, menunggu meledak dalam bentuk apatisme, resistensi, bahkan desersi moral ASN.
Di tengah semangat reformasi birokrasi Tidak Korupsi yang digaungkan oleh pemerintahan Andra Soni di Provinsi Banten, sebuah ironi besar menganga di jantung dunia pendidikan: 118 Calon Pengawas Sekolah (Cawas) yang telah dinyatakan lulus seleksi resmi, justru tidak dilantik.
Secara teknis ini mungkin cuma dosa masa lalu. Tapi ini bukan soal teknis. Ini soal integritas institusi. Dan lebih dari itu, ini adalah potensi krisis kepercayaan ASN terhadap sistem yang selama ini diyakini adil.
Mereka Bukan Gagal—Mereka Dibatalkan
Cawas ini telah melalui seluruh tahapan seleksi nasional, dengan beban psikologis, administratif, dan profesional yang tidak ringan. Namun ketika proses itu selesai, justru yang hadir adalah penundaan, pembatalan, dan pengabaian. Ini adalah bentuk pengingkaran institusional terhadap kerja keras dan dedikasi para ASN.
118 Cawas ini kini kembali ke sekolah-sekolah mereka semula. Tapi mereka bukan guru biasa lagi. Mereka adalah simbol keadilan yang ditangguhkan.
Mereka adalah Bom Waktu yang Tersebar
Bayangkan: 118 orang dengan potensi, kredibilitas, dan semangat pengabdian, kini berjalan di lorong-lorong sekolah dengan luka tak terlihat. Bila mereka memutuskan untuk tetap bekerja, mereka melakukannya tanpa semangat. Bila mereka memutuskan diam, mereka telah mencabut satu elemen penting dari ekosistem pendidikan: harapan.
Ratusan sekolah kini menjadi ladang potensial ketidakpuasan terpendam. Ini bukan sekadar frustrasi personal, ini adalah kegagalan negara dalam menjaga marwah meritokrasi.
OCB yang Luruh, Loyalitas yang Membeku
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!