Makassar- Siapa pun pasti ikut terbakar hati ketika melihat rakyat disebut tolol oleh wakilnya sendiri. Siapa pun pasti muak ketika tahu gaji dewan naik begitu tinggi sementara rakyat masih jungkir balik mencari makan. Dan siapa pun tentu geram saat melihat seorang pengemudi ojek online tewas dilindas mobil barakuda, seakan nyawa rakyat ini tak pernah ada harganya. Dari luka-luka itulah demonstrasi di Makassar lahir, dari dada rakyat yang sudah terlalu lama dipaksa menahan sakit.
Tapi mari kita jujur sebentar. Apa benar membakar gedung DPRD itu jawaban? Gedung itu bukan milik dewan. Bukan kursi mereka yang hangus. Bukan dompet mereka yang terkuras. Itu gedung rakyat, dibangun dari uang pajak rakyat, dan ketika ia terbakar, yang rugi ya rakyat juga. Dewan tetap duduk manis di kursi kekuasaan. Mereka tidak goyah, bahkan mungkin hanya menatap dari kejauhan lalu merasa kasihan pada diri sendiri. Ironi yang pahit.
Dalam teori utilitarianisme Jeremy Bentham, sebuah tindakan disebut baik apabila menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak-banyaknya orang (the greatest happiness for the greatest number). Jika kita pakai kacamata itu, membakar gedung DPRD jelas kontraproduktif. Manfaat politik yang dihasilkan hampir nihil, anggota dewan tidak kehilangan kekuasaan. Sebaliknya, kerugian sosial-ekonomi justru sangat besar, gedung yang dibangun dari pajak rakyat hangus, belasan kendaraan terbakar, dan yang lebih memilukan, nyawa manusia melayang.
Kalau niatnya untuk membubarkan DPR, itu juga tidak logis. DPR tidak hilang hanya karena satu bangunan rata dengan tanah. Lembaga ini berdiri karena konstitusi, bukan karena dinding dan atap yang telah kira bakar. Maka aksi itu, betapapun heroiknya di jalan, akhirnya jatuh jadi pelampiasan amarah yang tidak benar-benar menyentuh inti masalah. Kita marah, tapi kita salah arah.
Saya tidak menolak demonstrasi. Justru saya hormat setinggi-tingginya pada kawan-kawan mahasiswa dan masyarakat yang masih punya keberanian turun ke jalan. Itu hak, itu suara, itu bagian dari sejarah bangsa. Tapi kita juga harus reflektif, jangan sampai kita melawan brutalitas dengan brutalitas. Jangan sampai kita ingin membela rakyat, tapi akhirnya malah merugikan rakyat itu sendiri.
Kebebasan berpendapat itu ada, tapi bukan bebas sebebas-bebasnya. Kebebasan itu harus diarahkan. Amarah yang hanya jadi api akan padam dan meninggalkan abu. Tapi amarah yang diarahkan dengan kesadaran bisa berubah jadi obor, yang tidak sekadar membakar, tapi menerangi jalan perubahan. Dan itu yang seharusnya kita kejar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI