Mohon tunggu...
Andi HendraDimansa
Andi HendraDimansa Mohon Tunggu... Peneliti

Hobi meminum kopi empat gelas per hari dan melakukan aktivitas yang positif.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Studi Kepemimpinan Dalam Islam

30 Mei 2025   13:46 Diperbarui: 30 Mei 2025   13:46 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Isu kepemimpinan dalam Islam telah menjadi diskursus yang menarik mengingat persoalan kepemimpinan membawa dampak teologis (cikal bakal berbagai aliran kalam) dan dampak politis yang telah melahirkan berbagai faksi dalam Islam (dalam perebutan kekuasaan pasca-kenabian). Dalam sejarah kepemimpinan Islam legitimasi teologis (Qur'an da Hadis) menjadi semacam faktor dejure dan faktor yuridis demi mendapatkan legitimasi kepemimpinan.

Untuk mengkaji persoalan kepemimpinan dalam Islam tentu menjadi sangat penting mendalami tokoh sentral dalam Islam yaitu Nabi Muhammad Saw. mengingat semua umat Islam dari berbagai aliran teologis dan faksi politik menjadikannya sebagai rujukan. Tetapi, ada beberapa hal yang mesti ditinjau secara kritis terkait masalah kepemimpinan dalam Islam. Karena, secara historis pengalaman kepemimpinan Islam yang menggunakan legitimasi teologis termasuk hadis maka akan sangat rentan bagi penguasa menafsirkan hadis dan bahkan lebih jauh akan mungkin memunculkan hadis-hadis palsu pesanan penguasa. Hal tersebut, dipengaruhi oleh kepentingan penguasa demi mendapatkan legitimasi.

Dalam penelitian ST. Magfirah yang berdasarkan hadis-hadis terkait kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. perlu melakukan pengkajian atau penelusuran, mengingat dalam hadis ada pengelompokan hadis berdasarkan tempat turunnya yakni Makkiyah dan Madaniyah. Tentu dua pengelompokan hadis tersebut memiliki karakteristik tersendiri. Segaligus juga perlu menjawab pertanyaan secara substansial, apakah Nabi Muhammad Saw. saat berada di Mekah dapat disebut sebagai pemimpin negara atau hanya sebagai pemimpin agama ? Tentu secara substansial pertanyaan tersebut berimplikasi terhadap proses penelitian ini, termasuk memahami kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai kepala negara, apakah sesuatu yang didapatkan bersamaan dengan pengangkatannya sebagai nabi atau didapatkan lewat legitimasi publik ?

Bila kepemimpinan Nabi Muhammad Saw juga didasarkan bersamaan dengan pengangkatannya sebagai nabi maka konsekuensinya hadis yang dikeluarkan nabi mulai di Mekah dan Madinah menjadi bagian dari objek penelitian ini. Tetapi, bila kepemimpinan Nabi Saw didasarkan atas legitimasi publik maka itu terjadi pada saat Nabi Saw berada di Madinah atau lebih tepatnya pada saat terjadinya Piagam Madinah yang membentuk satu tatanan masyarakat dan Nabi Saw sebagai pemimpinnya. Sehingga secara konstitusi Nabi Saw baru menjadi kepala negara pada saat diberlakukannya Piagam Madinah dan masyarakat yang berasal dari berbagai latar (agama, suku dan ras) menerima dan mengakui Nabi Saw sebagai pemimpin.

Hal lain yang perlu diperhatikan terkait menempatkan Nabi Saw sebagai kepala negara yakni dalam istilah modern ada tiga pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tetapi, dalam sejarah kepemimpinan Nabi Saw meliputi tiga kewenangan pembagian kekuasaan tersebut. Nabi Saw bertindak sebagai pemimpin eksekutif, membuat aturan (legislatif) dan memberikan sanksi terhadap berbagai pelanggaran (yudikatif). Karena, pada diri Nabi Saw terdapat tiga jenis kewenangan tersebut, maka perlu melakukan klasifikasi saat Nabi Saw sebagai pemimpin eksekutif, legislatif dan yudikatif. Selain itu, perlu menjawab kepemimpinan Nabi Saw yang meliputi tiga jenis kekuasaan tersebut. Mengingat kekuasaan Nabi Saw yang tak terbatas (kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif) dalam terminologi kepemimpinan yang seperti itu masuk kategori otoriter.

Perlu juga memperhatikan pandangan tokoh-tokoh Muslim yang secara kritis menilai kepemimpinan Nabi Saw seperti Ali Abdu Raziq yang memandang bahwa Nabi Saw hanya pemimpin agama. Adapun Nabi Saw berdiplomasi dengan berbagai pemimpin sosial yang ada lebih kepada mendapatkan jaminan terhadap komunitas Muslim supaya tidak mendapat gangguan dari kelompok sosial yang lain. Sehingga menurut Ali Abdu Raziq, Nabi Saw tidak menjadi kepala negara segaligus tidak mendirikan Negara, konsekuensinya umat Islam memiliki kebebasan dalam urusan memilih bentuk negara dan pemimpin negara.

Tetapi, terlepas adanya pandangan kritis terkait kepemimpinan Nabi Saw tentu ada beberapa hal dari tindakannya dalam konteks sebagai pemimpin yang memiliki sisi universalitas dapat menjadi pertimbangan menyangkut persoalan kepemimpinan. Sikap Nabi Saw yang menjunjung tinggi rasa keadilan tanpa ada pembedaan antar satu dengan yang lain, Nabi Saw menerima dan menghargai pendapat Salman al-Farisi saat menyusun strategi demi menghadapi pasukan Quraish dan Nabi Saw membagi hasil perang secara merata. Tiga contoh tindakan Nabi Saw memiliki kesamaan dengan gagasan kepemimpinan modern yang menghargai hak, kebebasan berpendapat dan pembagian ekonomi yang berkeadilan.

Dalam konteks kepemimpinan negara ada dua hal pokok yang mesti diperhatikan yakni menyangkut urusan publik dan privat. Kepemimpinan Nabi Saw perlu dilihat bagaimana menata kehidupan dan kepentingan publik segaligus bagaimana melindungi hal-hal privat demi memahami kebijakan Nabi Saw secara komprehensif lewat hadis-hadisnya. Piagam Madinah mesti dilihat dalam berbagai perspektif sebagai upaya yang dilakukan Nabi Saw dalam mengatur hal publik dan privat.

Islam memberikan legitimasi dalam menjamin keselamatan jiwa, akal, keturunan, harta dan agama. Nabi Saw dalam berbagai hadisnya telah menjabarkan hal tersebut, yang dalam konteks kehidupan bernegara sebagaimana yang diungkapkan oleh para ahli bahwa tujuan didirikannya negara tidak lain adalah demi menjamin keselamatan warga negara. Cicero seorang negarawan berkebangsaan Romawi menyatakan negara hadir demi melayani res publica (publik) untuk itu pemimpin mesti menjaga kepercayaan publik.

Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd terkait sosok Nabi Saw perlu dipahami sebagai bagian dari historis Arab Quraish. Menempatkan Nabi Saw sebagai bagian dari kebudayaannya maka itu akan lebih mendekatkan pada pemahaman objektif terhadap Nabi Saw. menurut Nasr Hamid Abu Zayd bahwa sosok Nabi Saw sebagaimana tergambang pada peristiwa renovasi Kabbah menunjukkan Nabi Saw sebagai pribadi yang dapat diterima oleh berbagai kalangan terbukti Nabi Saw dipercaya untuk menjadi penengah terhadap siapa yang akan meletakkan hajar aswad pada posisi semula dan keputusan Nabi Saw dapat memuaskan semua kalangan. Hal tersebut, menjadi bukti bahwa Nabi Saw memiliki keterkaitan erat dengan kehidupan publik. Sehingga menjadi sangat penting dalam mengkaji kepemimpinan Nabi Saw perlu melihat latar belakangnya sebagai bagian dari masyarakat Arab Quraish yang juga memiliki budaya terkait masalah kepemimpinan. Demi memahami yang membentuk karakteristik Nabi Saw tentu akan memberi pengaruh dalam corak kepemimpinannya.

Gambaran tipologi masyarakat Arab Quraish berdasarkan klan kesukuan dan kepala suku memiliki otoritas dalam mengatur segala hal. Nabi Saw lahir dan hidup dalam lingkungan seperti itu, tetapi watak Nabi Saw berbeda dengan Arab Quraish yang kebanyakan. Tentu ada penanaman nilai-nilai yang berbeda yang didapatkan oleh Nabi Saw dan pada akhirnya membentuk karakter Nabi Saw. Kualitas kepribadian Nabi Saw yang telah memberikan pemahaman terkait cara berpikir dan bertindak serta mengatur kepemimpinan yang berorientasi pada persamaan hak, kebebasan berpendapat dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun