Monitor detak jantung berbunyi, BEEP... BEEP... BEEP..., irama yang akrab dan dingin. Bau antiseptik, desahan samar masker oksigen, dan bisikan perawat adalah ritme yang Kea kenal. Namun, pagi ini, semua itu terasa jauh.
"Pagiii!" seru Eva, melambaikan tangan dengan semangat dari gerbang sekolah. Kea, gadis kuncir kuda itu, membalas lambaian hangatnya. Mereka menghabiskan waktu di bangku taman sekolah, berbagi tawa dan rahasia seperti biasa.
Di kelas, Pak Guru masuk, diikuti oleh seseorang yang bersembunyi di punggungnya. Anak laki-laki itu maju beberapa langkah, wajahnya pucat.
"Haii. Aku Rasyaa," ucapnya, suaranya sedikit bergetar, hampir seperti desisan angin.
Beberapa hari kemudian, Rasya berjalan melintasi taman kota. Ia berhenti mendadak. Ia mendengar suara nyanyian klasik yang indah, lembut, dan merdu. Penasaran, ia mengendap-ngendap di balik semak bunga mawar. Sshhh... shhh... Jantungnya berdebar kencang. Ia mengintip dan melihat sosok Kea berdiri, matanya terpejam saat ia melantunkan nada-nada tinggi.
Tiba-tiba, Kea melompat turun dari bangku batu. Ia mendarat tepat di depan Rasya yang membeku.
"Ng... ngapain lu ngendap-ngendap?" tanya Kea, nadanya serius.
Rasya hanya bisa menelan ludah. Ia tertangkap basah.
Kea tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. "Hahahahha! Gampang banget sih dijailin!" Ia mengulurkan tangan. "Kea. Senang bertemu denganmu, penguntit."
"Rasya," jawabnya, meraih tangan itu. Â Selepas itu Kea pergi meninggalkannya di Taman.
Keesokan harinya, Kea mulai menghampiri meja Rasya setiap hari. Eva, yang melihat interaksi intens itu, cemberut.