Mohon tunggu...
Anastasya Salma A
Anastasya Salma A Mohon Tunggu... Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Jember

Hyy! Nama aku Anastasya Salma Al Ghaida (bisa dipanggil Salma). Aku suka banget sama seni—nulis novel, puisi, musik dan bikin podcast adalah cara aku buat ungkapin apa yang aku rasain. Dunia akting juga salah satu tempat favoritku, apalagi kalo soal ikut lomba/ pertunjukan monolog dan film pendek. Lewat seni, aku jadi tertarik ngeliat realita dari sudut pandang yang berbeda. Walaupun aku ngga terlalu sering nulis soal isu sosial atau politik, aku seneng belajar hal - hal baru yang bisa buka cara pandang aku. Buatku, menulis itu bukan cuma ekspresi, tapi juga cara buat mikir dan ngobrol sama dunia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menggugat Dominasi Dolar: QRIS, Bitcoin, dan Sistem Moneter Global

2 Mei 2025   11:20 Diperbarui: 2 Mei 2025   11:20 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dari hegemoni dolar Amerika Serikat yang mengakar sejak akhir Perang Dunia II, hingga lahirnya mata uang digital seperti Bitcoin yang menggugat otoritas sistem keuangan konvensional. Dalam situasi ini, negara-negara berkembang seperti Indonesia berupaya menemukan peluang, menguatkan kedaulatan moneter melalui inovasi seperti QRIS dan kerja sama dalam Local Currency Settlement (LCS).


Apakah ini menandakan adanya perubahan pada sistem moneter internasional? Bagaimana Indonesia mengambil langkah untuk menangani ketidakadilan dalam sistem ini?

Sistem Moneter Internasional: Dasar dan Dinamika

Sistem moneter internasional adalah struktur yang mengatur cara negara-negara bertukar mata uang dan menyelaraskan aliran modal serta perdagangan global. Ini mencakup berbagai mekanisme seperti nilai tukar (fixed, floating, atau tertambat), kemampuan konversi mata uang, sampai intervensi pemerintah di pasar uang.

Dalam pelaksanaannya, sistem ini tidak terlepas dari pengaruh kekuatan tertentu. Dolar AS, yang berfungsi sebagai mata uang cadangan utama di dunia, memiliki dampak yang sangat besar terhadap ekonomi global. Namun, dominasi ini juga menimbulkan ketimpangan, khususnya bagi negara-negara berkembang yang rentan terhadap fluktuasi nilai tukar dan arus modal.

Floating vs Fixed: Stabilitas atau Pasrah pada Pasar?

Ada beberapa pendekatan yang digunakan negara dalam menentukan nilai tukar mata uangnya. Dalam sistem kurs mengambang bebas (pure floating), nilai tukar diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, permintaan dan penawaran. Di sisi lain, dalam sistem kurs tetap, pemerintah aktif berpartisipasi untuk menjaga nilai mata uang pada tingkat tertentu.

Bank Indonesia sering melakukan intervensi untuk menstabilkan nilai tukar rupiah karena Indonesia menggunakan sistem kurs mengambang terkendali. Ini terbukti ketika BI masuk ke pasar valas untuk mencegah penurunan drastis nilai tukar akibat ketidakpastian global.

Meskipun demikian, intervensi ini memiliki keterbatasan. Ditambah lagi ketika kita berbicara tentang mata uang asing yang dominan, seperti dolar. Fundamental ekonomi Indonesia dan sentimen global yang menjadikan dolar sebagai "tempat aman" berkontribusi pada nilai tukar rupiah.

QRIS dan LCS: Perlawanan Kecil dengan Dampak Besar

Indonesia mulai mengambil tindakan strategis dalam beberapa tahun terakhir untuk mengurangi ketergantungannya pada dolar dalam transaksi internasional. Penerbitan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), sebuah inovasi domestik, mempermudah transaksi digital lintas platform, bahkan di antara negara-negara Asia Tenggara.

Langkah tambahan adalah kerja sama Local Currency Settlement (LCS) dengan negara mitra dagang utama seperti Jepang, Malaysia, dan Thailand. LCS memungkinkan transaksi bilateral dilakukan menggunakan mata uang lokal daripada dolar.
Dua upaya ini memiliki tujuan yang jelas: meningkatkan kedaulatan moneter Indonesia dan mengurangi risiko yang disebabkan oleh volatilitas dolar. Meskipun skalanya belum besar, itu memiliki potensi yang signifikan dalam jangka panjang, terutama jika negara-negara Asia lainnya berpartisipasi dalam inisiatif serupa.

QRIS: Memudahkan Akses dan Meningkatkan Keadilan dalam Pembayaran Digital

QRIS bukan hanya memperkenalkan kemudahan dalam transaksi domestik, tetapi juga menjadi jembatan pembayaran lintas negara, memungkinkan negara berkembang seperti Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada mata uang global seperti dolar AS. Ketika digabungkan dengan inovasi digital lainnya, seperti penggunaan mata uang kripto, QRIS berpotensi menjadi gerakan menuju sistem moneter yang lebih inklusif, yang memberi lebih banyak negara akses ke sistem keuangan global tanpa harus bergantung pada otoritas terpusat.

Bitcoin: Peluang atau Ancaman?

Sementara itu, di sisi yang lebih radikal, hadir Bitcoin dan berbagai aset digital lainnya. Berbeda dari QRIS dan LCS yang masih beroperasi dalam sistem moneter negara, Bitcoin menawarkan sistem desentralisasi tanpa otoritas pusat.

Dalam konteks negara berkembang, Bitcoin menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan alternatif dari sistem perbankan yang eksklusif dan terkadang tidak inklusif. Di sisi lain, volatilitas harga dan ketiadaan regulasi menjadikannya instrumen spekulatif yang bisa membahayakan stabilitas ekonomi.

Pemerintah Indonesia sendiri masih bersikap hati-hati terhadap Bitcoin. Mata uang kripto tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, namun diperbolehkan sebagai aset investasi dengan pengawasan dari Bappebti.

Bitcoin sebagai Alternatif Desentralisasi Ekonomi Global

Meskipun Bitcoin menawarkan peluang besar untuk mengguncang dominasi mata uang tradisional, tantangan besar yang masih ada adalah bagaimana mengelola volatilitas harga dan risiko regulasi. Nilai Bitcoin yang fluktuatif menjadikannya sulit diterima sebagai alat pembayaran yang stabil. Namun, di sisi lain, Bitcoin dapat menjadi simbol dari dorongan menuju desentralisasi ekonomi global, yang membuka ruang bagi negara-negara berkembang untuk lebih mandiri dalam mengelola sistem moneter mereka. Dengan mengurangi ketergantungan pada sistem keuangan tradisional, Bitcoin menawarkan potensi untuk meningkatkan inklusi keuangan, meskipun tantangan regulasi dan pengawasan tetap menjadi hambatan utama dalam penerapannya secara luas.

Tantangan: Hegemoni Dolar dan Soft Currency

Salah satu masalah klasik yang dihadapi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, adalah status rupiah sebagai "soft currency", mata uang yang cenderung melemah dan tidak banyak digunakan dalam perdagangan internasional.

Sebaliknya, dolar AS dianggap sebagai "hard currency", yang stabil dan dipercaya secara luas. Inilah mengapa hampir semua transaksi ekspor-impor, bahkan utang luar negeri, dihitung dalam dolar. Ketika dolar menguat, beban ekonomi negara-negara yang memiliki utang valas membengkak.

Upaya menggeser dominasi dolar bukan perkara mudah. Namun, kolaborasi regional dan inovasi teknologi (seperti digital payment interoperability) bisa menjadi awal dari sistem moneter global yang lebih seimbang.

Emansipasi Moneter: Mungkinkah?

Seperti yang pernah dikemukakan oleh beberapa ekonom progresif, termasuk dalam tradisi pemikiran Marxis, sistem keuangan global tidak netral. Ia sarat dengan relasi kuasa. Negara-negara berkembang harus tunduk pada mekanisme global yang dikuasai oleh segelintir institusi dan mata uang dominan.

Inisiatif seperti QRIS dan LCS bisa dibaca sebagai bentuk "emansipasi moneter", usaha negara untuk merebut kembali kendali atas kebijakan uangnya. Namun, jalan ini panjang dan penuh tantangan, baik dari dalam (resistensi sistem domestik) maupun dari luar (tekanan geopolitik dan pasar global).

QRIS dan Bitcoin: Gerakan Menuju Keadilan Moneter

Sistem moneter global telah lama didominasi oleh negara-negara besar dan lembaga internasional. Namun, inovasi teknologi seperti Bitcoin dan QRIS menunjukkan bahwa negara-negara berkembang tidak lagi sepenuhnya terikat pada aturan yang ada. QRIS, dengan interoperabilitas digital yang memungkinkan transaksi lintas negara menggunakan mata uang lokal, dan Bitcoin, dengan desentralisasi sistemnya, keduanya memberikan alternatif untuk menciptakan sistem moneter yang lebih berkeadilan, yang memberi kesempatan bagi negara-negara kecil untuk lebih mandiri dalam kebijakan ekonominya.

Penutup: Jalan Panjang Menuju Keadilan Moneter

Sistem moneter internasional akan terus berkembang. Tantangannya adalah bagaimana membuat sistem ini lebih adil, inklusif, dan stabil untuk semua negara, bukan hanya untuk segelintir yang kuat.

Langkah-langkah kecil seperti QRIS, LCS, atau bahkan eksplorasi mata uang digital bank sentral (CBDC), adalah bagian dari puzzle besar itu. Bitcoin mungkin tetap berada di pinggiran, namun ia telah mengguncang fondasi lama.

Sebagai negara berkembang dengan ekonomi terbuka, Indonesia perlu terus mencari ruang dalam sistem ini bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk turut membentuknya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun