Mohon tunggu...
Anastasia Mellania
Anastasia Mellania Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Selamat datang di tulisan Anastasia, si mahasiswa Ilmu Komunikasi yang sedang belajar membuat karya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

A Man Called Ahok (2018): Memanggil Jiwa Nasionalisme dari Tanah Belitung

11 November 2020   13:53 Diperbarui: 11 November 2020   14:02 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku tidak takut kalah, aku takut aku salah"

Familiar dengan penggalan dialog singkat tersebut?

Jika  iya, kata "selamat" akan saya ucapkan terlebih dahulu karena anda telah menjadi salah satu saksi hidup tokoh satu ini.

Jika belum, berarti anda harus meluangkan waktu untuk menyelinap masuk dalam untayan kisah jatuh bangun dari karya nasional yang akan kita bahas kali ini.

sumber gambar
sumber gambar


Siapa yang tidak mengenal Basuki Tjahaja Purnama, atau akrab kita sebut Ahok. Ia yang sempat menjadi salah satu sosok nomor satu di mata masyarakat Jakarta. Ia yang terkenal dengan cara bicaranya yang tegas dan berapi-api. 

Ia yang  bermodalkan kedisiplinan dan kejujuran berupaya  membasmi 'hama' yang terus menggerogoti negeri ini, korupsi namanya. Ia juga yang menjadi 'pelayan' rakyat dalam mencapai banyak hal, bahkan yang tidak sempat dilakukan para pendahulunya.

Ingatan lama anda mungkin akan sedikit kembali ke era pemerintahan Ahok yang singkat namun salah satu yang paling kuat terikat, saat membaca kalimat-kalimat tersebut.

Namun kali ini kita tidak akan fokus pada bagaimana Ahok menata Jakarta, tetapi lebih melihat jauh tentang bagaimana kerasnya hidup pada akhirnya membuat Ahok bisa menjadi tokoh yang kita kenal sekarang.

sumber gambar
sumber gambar

Saya akan mulai dengan salah satu karya nasional yang berhasil menceritakan dengan cukup detail alur kehidupan Basuki Tjahaja Purnama yakni  "A Man Called Ahok" yang rilis pada awal November 2018 lalu.  

Film karya Putrama Tuta ini tak hanya menyuguhkan alur cerita yang ciamik, tapi juga membawa banyak nama seperti Eric Febrian, Eriska Rein, Denny Sumargo, Sita Nursanti, Chew Kin Wah, sampai Daniel Mananta menjadi sorotoan atas kepiawayan mereka memerankan tokoh-tokoh krusial dalam hidup Ahok.

Secara garis besar film ini berkisah tentang setengah dari masa kecil Ahok, dan dilanjutkan dengan masa muda Ahok di Gatong, Belitung Timur, pada rentang tahun 1976 sampai 2000-an.

Perjalanan panjang sudah ada sejak Ahok masih terbilang kecil dimana banyak nilai kehidupan yang berusaha dipupuk oleh sang ayah, Kim Nam, kepada kelima anaknya. Kim Nam merupakan seorang tauke yang mempunyai pertambangan timah di daerah Gantong. 

Kim Nam dapat dikatakan 'populer' di kalangan masyarakat, namun bukan karena pertambangan timah yang dimilikinya, melainkan karena sisi murah hati dimana ia tak pernah ragu untuk membantu warga yang tengah memerlukan bantuan khususnya dalam ranah finansial meski kala itu bisnis keluarga Kim Nam tengah surut hingga menjadi keresahan bagi sang istri dikarenakan semakin menipis pula keuangan keluarga mereka. 

Meski begitu kehidupan Ahok pada masa itu bisa dibilang berkecukupan dibanding anak-anak lain di daerah tersebut.

Meski dikisahkan memiliki jiwa humanis yang tinggi, Kim Nam tak segan mendidik anak-anaknya dengan keras dan disiplin. Kim Nam juga mempunyai harapan besar agar anak-anaknya kelak menjadi pejabat, dokter, dan pengacara. Tetapi bukan semata-mata untuk sebuah gelar, melainkan guna membangun Belitung agar masyarakatnya semakin dimudahkan dalam akses kesehatan, demokrasi, dan keadilan.

"Kau sekolah yang benar, biar bisa bangun Belitung"

Representasi Makna Nasionalisme yang Relevan di Jaman Sekarang

Dari pemaparan singkat di atas, film berdurasi satu jam empat puluh lima menit tersebut sedikit banyak memunculkan adanya rasa cinta akan tanah perjuangan khususnya bagi Belitung.

Lantas, apakah hal tersebut dapat disebut nasionalisme?

Kusumawardani dan Faturochman (2004) mendefinisikan nasionalisme dengan melihat pada sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang mempu membangkitkan kekuatan berjuang melawan kolonialis beratus-ratus tahun yang lalu dengan adanya perbedaan etnik, budaya, dan agama yang membentuk kebangsaan Indonesia. Hal ini membuat "nasionalisme" dikenal sebagai sebuah kata yang sakti.

Namun nasionalisme tak sebatas pada definisi sebagai simbol patriotisme heroik yang membentuk perjuangan seolah-olah menghalalkan segala cara untuk tanah air tercinta. Makna dari nasionalisme seperti itu akan membatasi adanya persoalan di masa kini sehingga tidak relevan adanya karena kita tak lagi bergelut dengan penjajah yang merebut kemerdekaan bangsa secara harfiah.

Adanya pergeseran konteks nasionalisme pada masa kini lebih menekankan pada identitas yang lebih konkrit seperti negara modern, pemerintah yang bersih, demokrasi, dan perlindungan hak asasi manusia (Kusumawardani &Faturochman, 2004), sehingga hal tentang kebanggaan terhadap identitas bangsa menjadi  cukup mustahil apabila seorang warga negara tidak menemukan kebanggaan tersebut dalam diri negaranya.

sumber gambar
sumber gambar

Dalam beberapa keadaan , film ini berusaha mengangkat hal-hal tersebut, contohnya adalah ketika Kim Nam sering kali membawa Ahok dan salah satu adiknya untuk ikut terlibat dalam pekerjaan sang ayah di lapangan. Pada suatu masa, salah satu pekerja kedapatan melakukan praktik korupsi dengan membeli drum aspal sejumlah 8 buah namun dituliskan dalam kuitansi 12 buah, sehingga ketika Kim Nam memberikan spesifikasi ketebalan aspal yang seharusnya 6 cm, pekerja tersebut hanya membuat 3 cm.

"Dimana-mana yang kaya gini kan biasa", begitulah pembelaan yang dilayangkan pekerja bernama Hendra ketika didapati bahwa ia sengaja mengganti jumlah drum aspal pada kwitansi.

Tanpa basa-basi, Kim Nam memecat Hendra secara tak langsung dengan menyuruh Yuyu, adik Ahok, untuk menjadi 'juru bicaranya'. Melihat adiknya yang nampak tidak tega dan bingung, akhirnya Ahok yang saat itu baru berumur belasan tahun maju dan dengan tegas memecat pekerja ayahnya tersebut.

Bisnis Kim Nam semakin menurun, belum lagi dirinya harus berhadapan dengan oknum tak bertanggung jawab hingga dibingungkan akan hal memberi "upeti" demi menyelamatkan pekerja dan bisnisnya atau terus teguh pada pendiriannya namun berakhir hancur.

sumber gambar
sumber gambar

Peristiwa demi peristiwa kian membuat Ahok semakin mengerti betul bagaimana keadaan tanah lahirnya yang pada saat itu mulai digerogoti ego serakah beberapa pihak nakal. Maka dari itu Ahok memutuskan untuk tidak mengikuti keinginan sang ayah menjadi dokter, dan memilih menekuni bidang bisnis demi menyelamatkan Belitung dan usaha sang ayah.  

Tentu saja hal itu bertentangan dengan niat baik Kim Nam. Setelah Ahok tumbuh dewasa,  love hate relationship nampaknya merupakan sebutan yang paling tepat untuk mendefinisikan keadaan ayah dan anak ini. Walau begitu, semangat Ahok untuk menciptakan perubahan bagi sistem yang mulai hancur di Gantong tidaklah surut.

"Kita lawan sistem busuk ini, kita buat perubahan!" ujarnya.

Nasionalisme kian terlihat kala film ini diputar semakin lama, dimana adanya perwujudan nilai dasar yang berorientasi pada kepentingan bersama ditunjukan tokoh Ahok yang berupaya menghindarkan segala legalisasi kepentingan pribadi yang merusak tatanan kehidupan masyarakat Gantong.

"Orang miskin kalah dengan orang kaya. Orang kaya kalah dengan penguasa. Kalau kau jadi penguasa, kau beri pelajaran orang-orang seperti di kantor tadi itu. Punya kuasa ngurus rakyat, tapi malah sibuk bikin kaya diri sendiri"

Kembali Pada Tanah Belitung

Kisah Ahok berlanjut dengan kepergian sang ayah dan rangkaian tekad yang semakin kuat untuk melakukan apa yang belum sempat sang ayah lakukan semasa hidupnya.

Setelah sukses dengan gelar dan karirnya di Jakarta, Ahok kembali ke Belitung dan berencana untuk mendedikasikan hidupnya menjadi DPRD Kabupaten Belitung Timur. 

Dalam dinamika kerjanya, lagi-lagi Ahok menemukan praktik kecurangan dimana biaya perjalanan dinas pejabat dinilai terlalu besar, tidak setimpal dengan kenyataannya bahwa mereka jarang bepergian untuk urusan pekerjaan. 

Hal tersebut dijadikan celah oleh Ahok untuk mengajukan agenda  memangkas anggaran perjalanan dinas guna dialihkan pada anggaran pendidikan supaya anak-anak yang putus sekolah dapat melanjutkan studinya. Namun Ahok pada akhirnya tidak mendapat dukungan.

Ahok kemudian mengajukan diri untuk menjadi Bupati Belitung Timur dalam PILKADA masa itu. Namun tetap, ada saja oknum yang ingin menghempaskan niat tersebut. Kali ini mereka memakai cara kotor dengan mengangkat ras bahwa "Belitung tidak pernah dipimpin oleh orang Tionghoa" dan memakai orang dalam sehingga Ahok sempat kalah suara pada suatu desa.

sumber gambar
sumber gambar

Hal ini dirasa berkaitan dengan pernyataan Sindhunata (dalam  Kusumawardani &Faturochman, 2004) bahwa nasionalisme Indonesia telah mati dengan bukti adanya keresahan dan kegelisahan masyarakat yang ingin membuat adanya homogenitas, padahal di tingkat lokal suatu kebangsaan Indonesia sangatlah heterogen sehingga lewat adanya kekuasaan mereka dapat melanggenggkan segalanya.

Meski begitu, desa-desa lain lebih melihat tentang bagaimana sosok Kim Nam yang ada dalam diri Ahok. Mereka banyak bersaksi akan kebaikan Kim Nam semasa hidupnya yang sering menolong masyarakat yang susah dan miskin. 

Kebaikannya tersebut akhirnya berbalas lewat banyak suara yang didapat Ahok sehingga pada akhirnya jabatan Bupati Belitung Timur berhasil disandang.

Makna nasionalisme kembali terlihat dimana Kusumawardani dan Faturochman (2004) menjelaskan bahwa suatu bangsa hanya dapat tercipta jika terdapat adanya perasaaan setia kawan yang besar bukan karena persamaan ras, bahasa, agama atau batas-batas negeri, tetapi terbentuk karena pengalaman historis yang menjadi penyambung kesediaan untuk sama-sama berkorban.

sumber gambar
sumber gambar

Sebagai penutup, saya ingin membagikan kutipan dialog Ahok dan Kim Nam yang menunjukan bahwa film ini layak disebut sebagai pembangkit rasa nasionalisme,

"Kita sebenarnya orang Indonesia atau China sih?"

"Jangan pernah berhenti mencintai negeri ini, Hok"



HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun