Mohon tunggu...
Anastasia Bernardina
Anastasia Bernardina Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka Aksara

Berbagi energi positif dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rumah Gubuk di Balik Bukit (Petualangan Rahasia Part 1)

26 Januari 2023   19:00 Diperbarui: 26 Januari 2023   19:01 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Almeida from Pixabay 

Adit, Wira, Sekar, dan Rio sudah siap dengan sepeda masing-masing. Rumah mereka berdekatan dan setiap sore sering bermain sepeda bersama. Dari rumah mereka tampak bukit kecil dengan pepohonan yang cukup lebat. Penduduk sekitar menamainya Bukit Hijau.

Tanah di bagian bawah bukit digunakan penduduk setempat untuk menanam tanaman palawija. Jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan sering ditanam oleh penduduk setempat. Mereka sering mengganti berbagai tanaman palawija secara bergilir agar tanah di sekitar bukit itu tetap terjaga kesuburannya. Kebutuhan pangan penduduk sekitar dapat ditopang dari berbagai tanaman palawija itu.

"Ayo kita bersepeda ke arah bukit," Adit mengajak ketiga temannya dengan penuh semangat. Adit memang paling berani dibandingkan ketiga temannya itu. Ia berjiwa pemimpin dan sangat suka berpetualang di alam bebas. Kulitnya yang sawo matang dengan tubuh yang tegap dan berisi membuatnya semakin pantas jika menjadi seorang pemimpin.

"Tapi mainnya jangan lama-lama, ya! Ini sudah terlalu sore, aku takut kalau ibuku marah." Sekar mencoba mengingatkan Adit sambil mulai bersiap-siap menaiki sepedanya.

Sekar usianya paling kecil, tubuhnya pun mungil. Kulitnya putih dan rambutnya panjang terurai. Satu-satunya perempuan dan sering merasa takut jika bermain terlalu jauh, apalagi jika pulangnya terlalu sore. Dia baru kelas 4 SD sedangkan Adit, Wira dan Rio sudah duduk di kelas 5 SD.

"Tenang.... kalau bermain denganku, semua pasti aman!" Adit membusungkan sekaligus menepuk dadanya dan dengan cepat mengayuh sepedanya ke arah bukit.

Wira dan Rio mengejar dengan cepat. Seperti biasa, Sekar selalu saja paling terakhir.

Hal itu membuat Wira menoleh ke belakang dan menyuruh Sekar untuk bersepeda di bagian tengah dan Wira pun memposisikan diri paling belakang.

"Ayo kayuh sepedamu lebih cepat, Sekar! Biar aku yang menjagamu dari belakang," ucap Wira sambil tersenyum menyemangati.

Wira memang dikenal baik hati. Dia yang paling sering menjaga Sekar. Mungkin karena rumah mereka bersebelahan dan orang tua mereka merupakan teman baik sejak sekolah dulu.

"Adit, kenapa kita harus bersepeda menuju bukit, sih? Kalau terlalu sore, bukit itu sepi, sudah tidak ada penduduk yang bekerja di ladang dekat bukit." Rio tampak kurang setuju dan berusaha mengingatkan Adit sambil mengayuh sepedanya lebih cepat dan berusaha sejajar dengan Adit.

Rio memang anak yang kritis dan senang berpikir, namun seringkali terselip rasa takut untuk mencoba sesuatu yang baru.

"Ayo, kita pulang saja, besok siang kita kembali lagi ke bukit itu." Ajak Rio dengan wajah sedikit gelisah.

"Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan pada kalian. Tenang saja, hanya sebentar kok. Kita hanya ke ladang di dekat bukit itu." Adit berusaha menenangkan Rio.

Sebenarnya Rio takut jika bermain terlalu sore, namun dia juga penasaran, apa sebenarnya yang ingin ditunjukkan oleh Adit.

Sampailah mereka ke sebuah ladang di dekat bukit itu. "Ayo, sini semuanya, aku ingin menunjukkan sesuatu pada kalian. Kemarin aku melihatnya dan aku mencoba menutupinya dengan dedaunan ini."

Rio, Wira, dan Sekar berusaha mendekat. "Apa itu?" Sekar mulai bergerak mundur dan wajahnya menunjukkan rasa takut.

"Jangan diambil, itu seperti senjata tajam. Bentuknya mirip keris. Bagaimana jika itu berbahaya dan sengaja diletakkan oleh seseorang di ladang ini." Rio melarang Wira ketika tangannya hampir menyentuh benda yang mirip keris itu.

"Ayo, kita pulang saja, sebentar lagi azan magrib, langit juga sudah mulai gelap." Sekar mulai merengek dan menarik tangan Wira agar segera pergi dari tempat itu.

"Iya, betul kata Sekar. Kita tutup saja lagi keris itu dengan dedaunan. Besok siang kita kembali lagi ke sini." Wira mulai berlalu dan siap-siap menaiki sepedanya. Tak lupa Wira mengajak Sekar karena selain Sekar paling bontot, dia juga selalu membutuhkan teman yang bisa menjaganya.

Adit dan Rio pun segera menutup keris itu kemudian Rio bertanya, "Dit, sejak kapan kamu menemukan keris ini?" Adit menjawab sambil tangannya buru-buru menutup keris, "Kemarin, aku bermain sendirian dan melihat keris ini."

Keduanya pun bergegas menaiki sepeda masing-masing mengejar Wira dan Sekar.

++++++++

Keesokan harinya, waktu menunjukkan pukul 13.30. Setelah makan siang, mereka berempat sudah siap dengan sepeda masing-masing dan berkumpul di rumah Adit. Mereka sudah tidak sabar ingin melihat lagi benda yang mereka perkirakan sebagai keris. Mereka mulai mengayuh sepeda dengan penuh riang. Angin sepoi-sepoi dan cuaca yang tidak begitu panas menambah suasana keriangan mereka.

"Jangan-jangan keris itu milik Mbah Dukun yang rumahnya ada di balik bukit itu ya, Dit?" Rio menoleh ke arah Adit seolah meminta persetujuan.

"Ah, ada-ada saja kamu!" Adit berusaha tidak menghiraukan ucapan Rio.

"Tapi menurut penduduk kampung sih di balik bukit itu memang ada rumah Mbah Dukun. Bagaimana kalau kita ambil keris itu lalu kita bertanya ke Mbah Dukun." Rio bersikeras.

Hati Adit tergelitik dan rasa penasarannya mulai muncul. Ia bergumam dalam hati, "Benar juga kata Rio, lebih baik keris itu diambil saja, lalu datang ke rumah Mbah Dukun untuk menanyakan tentang keris itu."

Sambil terus mengayuh sepedanya dan sedikit berpikir,  Adit pun menanggapi Rio. "Oke, aku setuju. Kita ambil keris itu lalu kita bawa ke rumah Mbah Dukun. Bagaimana dengan Wira dan Sekar? Apakah kalian setuju?"

Wira dan Sekar pun mengangguk ragu. Sekar berbisik kepada Wira, "Sebetulnya aku takut, tapi aku penasaran." Wira hanya tersenyum sambil mengedipkan matanya. "Tenang saja, aku juga takut, tapi aku juga penasaran. Ayo, kita nikmati saja petualangan ini." Ajak Wira dengan suara yang menenangkan.

Sampailah mereka di tempat kemarin sore. Mereka mulai mengambil satu per satu dedaunan yang menutupi keris itu. Dua orang penduduk kampung terlihat sedang bekerja di ladang dan tidak terlalu menghiraukan aksi keempat bocah yang selalu penasaran ini.

Akhirnya terlihatlah keris itu. Adit mencoba mengambilnya. Tidak terlalu besar namun cukup berat. Dimasukkannya keris kecil itu ke dalam tas yang diselempangkan di bahunya.

"Ayo, semuanya kita menuju ke rumah Mbah Dukun." Adit mengajak ketiga temannya.

Kembali mereka berempat menaiki sepeda masing-masing dan meluncur ke balik bukit menuju rumah Mbah Dukun.

"Memangnya kamu tahu di mana persisnya rumah Mbah Dukun, Dit? Di balik bukit itu kan sepi dan sepertinya tidak ada rumah penduduk." Wira sedikit berteriak dari arah belakang.

"Ya, justru karena tidak ada rumah penduduk, kita lebih mudah mencarinya. Kalau nanti kita menemukan rumah di balik bukit itu, berarti itu rumah Mbah Dukun. Kamu takut, ya?" Adit sedikit tertawa seolah mengejek keberanian Wira.

Namun Wira tidak terlalu menghiraukan ejekan Adit, dia lebih konsentrasi untuk menjaga Sekar selama perjalanan ke arah balik bukit.

Dari kejauhan tampak rumah gubuk dengan kursi bambu panjang berada di depannya. Di halaman rumah gubuk itu ada beberapa tanaman yang cukup terawat, mungkin tanaman obat-obatan, sedangkan di pojok belakang rumah terdapat pohon beringin yang akarnya sudah mulai menjuntai ke bawah.

Rumah itu tampak sepi seperti tak berpenghuni. Mereka berempat memarkirkan sepeda di samping rumah gubuk itu. Adit berjalan mengendap-endap diikuti oleh ketiga temannya.

"Kenapa kita harus mengendap-endap, kan kita bukan mau maling?" Rio membuka suara tanda kurang setuju dengan apa yang dilakukan Adit.

"Ah, merusak suasana saja kamu, Rio. Dengan mengendap-endap seperti ini, kita jadi lebih bisa merasakan suasana petualangannya. Kamu kurang gaul. Nggak pernah lihat film-film petualangan, ya?" Adit mencoba menjelaskan dengan nada sedikit kesal.

"Iya, oke...aku ikut caramu." Rio akhirnya mengalah.

Adit mengintip dari celah gubuk. Rio berada di belakangnya dan memegang bahu Adit sedangkan Wira dan Sekar berada di belakang mereka berdua.

"Kamu lihat apa, Dit? Di dalam ada apa?" Rio tampak penasaran sambil menarik-narik baju Adit.

"Sssstttt...." Adit menoleh sambil meletakkan telunjuknya di bibir.

"Coba sini kamu lihat sendiri di dalam rumah Mbah Dukun ada apa?" Adit menarik lengan Rio.

Akhirnya Rio memicingkan matanya dan melihat ke bagian dalam rumah Mbah Dukun melalui celah gubuk. Rio tampak kaget. Dia pun segera menoleh ke arah Adit, Wira, dan Sekar.

(Bersambung) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun