Anas Tasya
Ilmu Administrasi Publik, FISIP UMJ
"Pekerja lepas media menghadapi tantangan besar---minimnya perlindungan hukum, pembayaran tidak pasti, dan ketiadaan jaminan sosial, di tengah harapan regulasi ketenagakerjaan yang lebih inklusif."
Di balik berita-berita yang kita baca setiap hari, ada kontribusi besar dari para pekerja lepas seperti jurnalis, fotografer, editor video, dan penulis konten yang kerap kali tidak mendapatkan perlindungan layaknya pekerja formal. Sayangnya, hingga pertengahan 2025 ini, Nasib mereka belum juga membaik.
Realitas Pahit Pekerja Lepas Di Media
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dalam survei ketenagakerjaan media yang dirilis akhir 2024, mengungkapkan bahwa lebih dari 60% jurnalis freelance di Indonesia tidak memiliki kontrak kerja tertulis. Mereka juga dibayar di bawah UMP dan sering kali tidak menerima THR, jaminan sosial, dan hak dasar lain sebagaimana diatur dalam UU ketenagakerjaan untuk pekerja tetap.
Lebih parah lagi, banyak dari mereka bahkan tidak tahu kepada siapa harus mengadu saat terjadi ketidakadilan. Freelance di media sering dianggap "mitra" atau "contributor" bukan pekerja, meski kenyataannya mereka bekerja penuh waktu.
"kami harus menunggu berbulan-bulan hanya untuk menerima honor yang bahkan tidak cukup untuk biaya hidup sebulan," ungkap seorang jurnalis freelance media daring nasional, yang meminta Namanya dirahasiakan.
Kasus CNN Indonesia, VOA, dan Pinusi.com
Pada April 2025, AJI Indonesia mengadukan tiga kasus pelanggaran ketenagakerjaan ke Dewan Pers, yakni yang melibatkan pekerja CNN Indonesia, VOA Indonesia, dan Pinusi.com. ketiga kasus itu memiliki pola serupa yakni: pekerja freelance di PHK sepihak, tidak diberi  konytrak kerja, dan tidak menerima hak dasar mereka.
"Pemberi kerja merasa tidak memiliki kewajiban hukum karena ststus kerja freelance, padahal ini bentuk eksploitasi yang harus dilawan," ujar Ika Ningtiyas, Sekjen AJI Indonesia (sumber : aji.or.id)