Mohon tunggu...
Ananto Nugroho
Ananto Nugroho Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati Politik Perburuhan dan Hubungan Internasional

Pemerhati Politik Perburuhan dan Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Buruh Negeri Vs Buruh Swasta

26 Mei 2020   18:13 Diperbarui: 26 Mei 2020   18:05 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini makin gencar perusahaan di dunia menyiapkan diri untuk menyongsong era baru pelaksanaan pekerjaan "New Normal". Hal ini juga menjalar ke sektor layanan publik yang berisi Aparatur Sipil Negara (ASN).  Mulai muncul usulan kerja di rumah (Work From Home) hingga Flexy Hours. 

Usulan ini sebenarnya sudah cukup gencar di awal tahun ketika pemerintah mendengungkan revousi 4.0. Namun, gagasan ini menemukan momentum percepatan dengan adanya pandemic covid-19 yang akhirnya membuat sejumlah kantor pemerintahaan tutup dan menerapkan pola kerja yang baru,  

Seiring dengan perencanaan pola kerja baru "new normal" yang digagas oleh pemerintah dalam merespon pandemic covid-19, nampaknya pemerintah harus menggunakan momentum yang ada untuk memperbaiki birokrasi di pemerintah. 

Pada masa pemerintahan sebelumnya, kita lebih mengenal jargon "reformasi birokrasi" meskipun masyarakat belum dapat merasakannya secara luas.  

Nah, untuk reformasi birokrasi versi covid-19 ini, maka pemerintah harus lebih sungguh -- sungguh untuk mendorong para birokrat ini bergerak lebih maju, gesit (agile) dalam melayani publik.

Omnibus Law dan Reforasi Birokrasi


Akibat covid-19 ini, pembahasan dan diskusi tentang maha karya hukum yang sedang dirancang oleh pemerintah tersendat. Ya, isu Omnibus Law - RUU Cipta Kerja akhirnya secara resmi diperintahkan ditunda  pembahasannya akibat covid-19. 

Pada tanggal 24 April 2020, Presiden Jokowi melalui teleconference menyampaikan bahwa pemerintah dan DPR sepakat untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja. 

Salah satu klaster dari mendapat perhatian serius masyarakat adalah klaster Ketenagakerjaan dimana DPR dan pemerintah mendapatkan resistensi yang cukup tinggi atas usulan yang ada di dalamnya.

Pembahasan tentang RUU Cipta Kerja dapat juga mendorong pembahasan Undang -- Undang lainnya yang mengatur Aparatur Sipil Negara. Bila kita ingin benar -- benar melaksanakan reformasi birokrasi, maka ada baiknya pemerintah juga melakukan berbagai hal untuk mendorong culture dan regulasi birokrasi yang lebih mirip swasta. 

Salah satunya adalah dengan men-copy terobosan yang  akan diambil oleh pemerintah dalam RUU Cipta Kerja untuk Klaster Ketenagakerjaan dan diterapkan kepada ASN. Mengapa demikian ? Hal ini karena perilaku birokrasi yang tidak sesuai juga dapat menjadi beban bagi tumbuhnya investasi di Indonesia, Bukankah ASN juga adalah buruhnya pemerintah karena terikat hubungan kerja karena adanya upah, perintah dan pekerjaan? 

Jadi pada haikatnya mereka sebenarnya adalah juga buruh yang pada akhirnya apabila tidak produktif dan agile, maka akan membuat perusahaan bangkrut, dalam konteks ini pengaturan Negara. 

Mereka tidak bisa dilepaskan dari hubungan perburuhan, dan oleh karenanya, bila ingin menciptakan iklim yang lebih kompetitif, maka perlu dirombak aturan yang ada yang menciptakan budaya ABS (Asal Bos Senang) di dalam birokrasi. 

Tengoklah bagaimana kompetitifnya pekerja swasta dalam bekerja dan bagaimana perusahaan membangun iklim kerja yang juga kompetitif di dalamnya. Tantangan untuk pemerintah, mampukah merombak birokrasi yang ada sehingga lebih kompetitif dalam melayani masyarakat?

Aturan Buruh Swasta VS Buruh Negeri

Salah satu cara membentuk budaya di sebuah lingkungan, adalah melalui aturan. Hal ini juga dapat dilakukan untuk membentuk budaya di lingungan kerja di dalam tubuh ASN. Banyaknya keluhan masyarakat akan ASN yang tidak produktif, koruptif maupun hanya cari aman sebenarnya adalah refleksi atas aturan yang ada dan menaunginya. 

Tidak ada kesadaran tinggi untuk dapat melayani publik secara excellent. Bahkan kadang ada kantor layanan publik yang harus tutup karena sang ASN sedang istirahat makan sekalipun masyarakat yang menunggu masih berjubel atau banyak. 

Masyarakat tidak memiliki pilihan lain karena layanan ini sifatnya monopoli. Kalau ada pesaing layanan yang sama yang lebih baik, publik pasti akan meninggalkannya.

 Mungkin kita bandingkan pengaturan dasar dari aturan perburuhan swasta yaitu UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan PP No. 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri. 

Di dalamnya terdapat prinsip No Work No Pay, artinya bagi buruh yang tidak bekerja atau bolos kerja dengan alasan yang tidak jelas,maka gajinya akan dipotong untuk hari itu dan tidak akan dibayar. Kalau di dalam PP No. 53  tersebut, maka tidak ada pemotongan gaji, yang ada adalah sanksi teguran lisan. 

Bisa dibayangkan derita buruh swasta ? Apalagi kalau kita bicara tentang mangkir atai bolos kerja atau tidak bekerja tidak aasan yang tidak jelas. Untuk karyawan swasta 5 hari mangkir atau bolos kerja, maka tamat sudah karirnya. 

Sementara kalau di dalam ketentuan ASN, maka 15 hari mangkir kerja, maka hanya akan diberikan teguran tertulis, bukan pemutusan hubungan kerja. Bahkan apabila di dalam UU 13 tahun 2003 yang mengatur buruh swasta, apabila terjadi  pelanggaran terkategori berat (sekalipun sudah dicabut MK) maka hukumannya bisa PHK, namun tidak sepenuhnya bagi ASN.

Budaya ASN saat ini saja masih perlu ditakut - takuti oleh Presiden, Gubernur maupun Bupati / Walikota kalau sampai bolos setelah cuti bersama Lebaran atau Natal atau Tahun Baru maka akan ditunda kenaikan pangkatnya atau gajinya. 

Sementara, untuk buruh swasta, harus berjuang keras untuk dapat tetap bertahan dan bekerja. Kalau MenPAN berani, "swastakan" dulu ASN mumpung momentum ada, secara regulasi dan budaya kerja, maka saya yakin buruh di Indonesia akan semakin kompetitif, agile dan produktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun