Mohon tunggu...
Ananta Yoga Prastawa
Ananta Yoga Prastawa Mohon Tunggu... lainnya -

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bulan Ramadhan dan Budaya Konsumtif

29 Juni 2014   23:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:15 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT atas kesempatan,berkah dan ridhonya sehingga masih memberikan kesempatan kami untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan tahun ini. Sholawat serta salam tidak pula kami lewatkan kepada junjungan kami Rasulullah SAW yang selalu kami rindukan.

Bulan Ramadhan merupakan salah satu bulan dalam kalender Tahun Hijriyah yang selalu ditunggu dan dinantikan oleh setiap Muslim di seluruh belahan dunia. Bulan Ramadhan selalu dianggap sebagai bulan yang sangat mulia, dimana setiap Muslim selalu menjadi berbeda dari biasanya dalam menyambut lalu melewati dan mengakhiri bulan yang sangat penuh berkah ini.

Bulan Ramadhan identik dengan ibadah yang dilipatgandakan, atau dengan kata lain melakukan ritual ibadah (mahdoh) plus sunnah secara massive dan intensitas yang lebih banyak daripada biasanya. Pun begitu dengan pahala yang akan didulang, beberapa hadist shahih dan riwayat yang kuat sanad nya menceritakan bahwa beribadah di bulan Ramadhan adalah kesempatan untuk mendapatkan dan “berburu” pahala sebanyak- banyaknya. Seperti yang kita ketahui bahwa bulan Ramadhan sangat identik dengan puasa selama sebulan penuh (29/30hari), bermula saat waktu imsak sampai terbenamnya matahari (maghrib).

Dua hari yang lalu tepatnya hari Jumat tanggal 27 Juni 2014, Pemerintah Republik Indonesia melalui Institusi Resmi nya yaitu Kementerian Agama RI melakukan sidang isbat untuk menentukan jatuhnya awal bulan Ramadhan. Tidak seperti tahun tahun tahun sebelumnya, sidang isbat kali ini berlangsung tertutup. Namun, saat sudah ada keputusan mengenai hal tersebut Kementerian Agama melalui Menteri Agama Bapak Lukman Hakim Syaifuddin mengumumkan secara resmi bahwa 1 Ramadhan 1435H jatuh pada hari Minggu 29 Juni 2014. Ada satu hal menarik yang perlu diteladani, bahwa dalam hal ini beliau menerapkan “Tasamuh” ,yaitu menjunjung tinggi toleransi. Toleransi disini adalah menghargai perbedaan pendapat yang ada, dikarenakan sebagian muslim di Indonesia sudah melaksanakan puasa sehari lebih awal yaitu pada hari Sabtu, 28 Juni 2014.

Dampak bulan Ramadhan, atau bulan puasa begitu banyak khalayak menyebutnya memang sangat terasa. Dari beberapa media massa memberitakan bahwa lonjakan harga kebutuhan pokok terjadi dimana mana. Tampaknya fenomena tersebut selalu sama dan berulang dari tahun ke tahun. Saya kurang mengerti mengapa itu bisa terjadi, namun menurut hemat saya adalah dimana permintaan meningkat sedangkan penawaran terbatas dapat dipastikan harga akan otomatis melambung.

Sudah tidak dapat kita pungkiri bahwa kebutuhan akan bahan pokok (primer), dan beberapa kebutuhan sekunder di bulan puasa selalu melonjak sampai beberapa kali lipat. Sebagian besar orang seakan akan berlomba untuk menumpuk bahan kebutuhan tersebut, bahkan barang yang tidak (belum) penting pun sering tidak luput dari daftar belanja. Uniknya, banyak orang yang rela merogoh kantong lebih dalam untuk mendapatkan segala macam barang yang diinginkannya. Disini dikesankan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang istimewa, jadi ibadah kita harus maksimal dan segala hal termasuk pemenuhan nafsu belanja juga harus maksimal... Jauh dari kesan cukup dan sederhana. Yang menarik adalah walaupun harga naik, tetap dibeli. Tidak peduli uang yang ada, yang penting bisa beli ini itu. Terlepas dari urgensi apakah barang yang dibeli itu memang dibutuhkan atau tidak, yang penting hasrat terpenuhi.

Tidak ada yang salah dalam hal ini, namun yang perlu digaris bawahi adalah bulan suci Ramadhan seakan menjadi pembenaran atas sikap konsumsi yang berlebihan. Berawal dari pembenaran tersebut akhirnya berujung pada budaya konsumerisme. Karena sudah berlangsung lama dan lingkungan sekitar yang mendukung, maka budaya konsumerisme selama bulan Ramadhan dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan semestinya dilakukan. Dari budaya seperti ini lah yang melahirkan pribadi/ kelompok masyarakat yang berlebihan, konsumtif, dan pemborosan. Dan yang lebih parah lagi, menurut saya adalah menghilangkan substansi dan nilai dari ibadah puasa itu sendiri. Nilai nilai yang terkandung sudah tidak selaras dengan praktik yang ada. Bukannya tujuan puasa adalah salah satunya untuk menahan dan menjaga diri terhadap hawa nafsu. Hawa nafsu disini bukan hanya hawa nafsu untuk makan minum atau seks, melainkan juga hawa nafsu untuk melakukan hal hal yang berlebihan dan tidak ada manfaatnya.

Semacam terjadi sekularisasi dalam kasus ini, ibadah (sholat/puasa) jalan terus namun juga melakukan hal hal yang tidak bermanfaat dan berlebihan. Bukannya malah mencederai makna bulan suci itu sendiri? Jika suatu hal sudah menjadi kebiasaan maka akan tercipta sebuah kebudayaan dan akan dianggap lazim.

Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa saat ini sedang terjadi perang pemikiran, dimana tidak terjadi perang sungguhan secara fisik menggunakan peralatan berat. Namun lebih secara halus dengan menekakan pada metode pelemahan cara pandang atau pola pikir dan berujung pada lemahnya jatidiri kita sebagai umat Muslim yang sesungguhnya. Output dari pelemahan tersebut adalah iman kita yang naik turun dan cenderung merosot terus.

Media modern yang ada saat ini seperti Televisi, Media Sosial, dll turut mempunyai andil besar dalam membentuk suatu persepsi dan berhasil merubah sikap hidup Muslim di seluruh dunia. Kita dihadapkan pada kehidupan modern yang memaksa kita untuk mau tidak mau masuk dalam pusaran modernisasi. Perlu ditekankan disini bahwa, bukannya  anti terhadap modernitas karena mau tidak mau itu yang terjadi sekarang. Namun yang ingin saya tekankan adalah bahwasanya disini sebagai Muslim kita harus mempunyai identitas diri, prinsip yang kuat serta menjaga nilai nilai yang telah ada.

Seperti yang kita ketahui bahwa Islam dan bahkan mungkin semua agama tidak mengajarkan kita untuk berlebih lebihan (ghuluw), pemborosan, dan hedon. Ajaran agama kami mengajarkan untuk bersikap sederhana dan proporsional dalam bersikap, termasuk dalam membelanjakan sebagian harta untuk kebutuhan hidup. Karenanya kebutuhan dan keinginan (nafsu) itu mempunyai perbedaan yang sangat signifikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun