Mohon tunggu...
Ananta Damarjati
Ananta Damarjati Mohon Tunggu... Wartawan -

Wartawan partikelir | Alumni Ponpes Kedunglo, Kediri |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjaga Kesehatan Lisan

31 Oktober 2016   07:53 Diperbarui: 31 Oktober 2016   09:18 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
publicdomainpictures.net

Menurut beberapa rujukan shahih, lisan bisa lebih tajam dari pedang. Detailnya saya kurang paham, tapi rasanya hal itu benar-benar benar. Apalagi mulut, yang tidak lebih hanya alat produksi kata-kata, bukan pengendali. Begitu kata diucap, si pengucap telah kehilangan kekuasaan atas kata-katanya. Dalam berbagai versi, peringatan ini sudah dengan sangat masif direproduksi, saking bahayanya mahkluk bernama lisan ini.

Untuk beberapa situasi yang bersifat jangka pendek, mendesak dan ukhrowi, premis diam adalah emas dapat menjadi solusi terbaik. Untuk jangka panjang yang sifatnya fiddunnya khasanah, saya kurang yakin. Sebab, lisan orang pendiam punya kecenderungan tidak artikulatif, rentan menimbulkan slip of tongue dan menambah masalah hablumminannas baru. Bisa-bisa kesleo ketika menyebut "alladziina" dengan "alat zina". Bisa bubar ibu-ibu satu majelis, lari mereka ke suaminya masing-masing.

Yang jelas lisan itu harus lebih diperhatikan. Titik. Maka penting untuk menjaga kesehatannya, artikulasinya, keseimbangannya dengan jiwa dan kebersihannya. Tentu sangat sulit, tidak semudah menjaga mulut dengan gosok gigi dan berkumur secara rutin. Lantas bagaimana menjaga lisan? Dijaga untuk apa? Dari siapa? Kapan? Dimana? Itu yang menjadi persoalan yang tidak pernah sepenuh hati bisa saya jawab.

Saya merasa tidak pantas untuk menjawab rentetan pertanyaan itu dengan ilmu yang benar, ilmu agama salah satunya. Alasannya, lisan saya tidak bersih-bersih amat, kadang misuh tak kenal tempat dan situasi. Bisa dibilang, yang dengan ringan keluar mulut saya lebih dari 50% mengandung denotasi negatif, alias tidak baik. Kata kotor orang menyebutnya. Tapi apa lacur, orang sah untuk menyebut orang lain yang berkata kotor dengan sebutan mulut sampah, mereka memegang stempel itu.

Tapi saya kurang sependapat dalam mengartikan "kata kotor" sebagaimana yang banyak orang sepakati. Dengan penekanan "kotor" di dalamnya; cara pandang, daya tangkap serta interpretasi orang-orang terkesan sangat simplifikatif dan sempit diartikan. Padahal seharusnya lebih dari itu, tak terumuskan, tak terukur, dan --bisa jadi-- tak terjangkau. Apalagi kita ada di Indonesia, yang kaya akan keanekaragaman bahasa daerah dengan berbagai situasi sosial budaya yang otentik. Disini --kalau boleh berpendapat-- definisi "kata kotor" menjadi sangat kabur dan nisbi.

Maksudnya, sebelum secara lugas mendefinisikan kata-kata orang lain sebagai "kata kotor" dan mengasosiasikannya dengan hal negatif. Harusnya terlebih dahulu dapat dirumuskan tujuannya, juga apakah dasar perilakunya murni mengumpat, mengutuki orang lain, atau malah "kata kotor" itu adalah pola komunikasi, kantong budaya, interaksi sosial, tingkat keakraban, atau hal lain.

Dari titik terjauh, pisuhan, kata kotor, dapat diidentifikasi dari keberlangsungan alam. Dalam sebuah esai diterangkan, yang terpenting dari mekanisme alam itu adalah tidak ada pengkotak-kotakan baik buruk di dalamnya. Badai, gempa, gunung meletus jelas diperlukan untuk keseimbangan alam, mungkin kita rugi harta dan nyawa, tapi itu diperlukan. Sama halnya dengan buang hajat pada metabolisme tubuh kita, yang kewajibannya serupa dengan matahari terbit terhadap pagi hari, itu semua sunatullah.

Sayangnya kita terbiasa menganakemaskan salah satu persepsi, dan membuang jauh hal-hal yang menurut kita tidak menguntungkan. Sederhana. Kita dengan penuh gairah dapat membayangkan soto, sop buntut dan rendang buatan chef Juna yang secara spesial dihidangkan kepada kita sebagai asupan makanan bergizi.

Disisi lain, kita akan sangat jijik dan mual jika membayangkan ampas makanan, feses hasil buang hajat; bentuknya, radius baunya, tingkat kekerasannya, teksturnya, warnanya, volumenya, timbul atau tenggelam di dalam kloset, dan lain-lain. Bagaimana, mual? Kalau mual, bayangkan feses kita sendiri saja, resapi dan hayati. Jangan bayangkan feses orang lain.

Ya begitu, urusan feses memang secara sengaja kita buang dalam obrolan sehari-hari. Padahal itu penting, sebagaimana pentingnya kotoran-kotoran lain yang tidak bisa diingkari yang keluar dari tubuh. Semua kita perlukan untuk sebuah keseimbangan serta bleberan-bleberannya. Lagipula, memuja hal-hal yang positif bersamaan dengan mencela habis-habisan hal yang negatif jelas sangat mustahil dilakukan. Tidak mau fesesnya tapi maunya makan terus. Bagaimana bisa.

Hal yang kotor kurang tepat jika posisinya selalu terkutuk, tabu, dan tidak layak diperbincangkan. Hal kotor harus kita identifikasi. Pada titik ini, anggap saja lisan juga butuh untuk dijaga keseimbangannya dengan hal kotor yang wajib ain untuk dikeluarkan, kalau memang misuh dianggap sebagai hal yang kotor. Maka misuhlah!!

Dengan catatan; Misuhlah pada tempatnya!!

Saya pikir misuh juga sunatulloh yang menjaga keseimbangan jiwa dan kesehatan lisan, serta tidak mungkin juga menghindari misuh dari keseharian, kecuali dengan tekad. Tekad jelas berat bagi sebagian orang, posisinya diatas cita-cita dan ikhtiar, tidak semua orang bisa kokoh bertekad, termasuk saya.

Walaupun tidak teduh untuk didengar, tapi saya rasa memang begitulah posisi misuh dalam wajah kehidupan.

Yoo mbuh cuk.....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun