Pasca Lebaran Ibukota akan dibanjiri para pendatang yang ingin mengadu nasibnya di Jakarta. Fenomena ini menjadi trauma dan ketertakutan Ibukota ‘khawatir’ menjadi tempat kumuh bagi para kaum pendatang. Potret inilah yang seringkali menjadi momok dan terkesan ‘menjadi penyakit’ bagi warga Jakarta. Namun jika dilihat lebih dalam, permasalahan pekerjaan adalah menjadi masalah utama di Negara ini yang tak pernah terselesaikan. Banyak saudara kita terbuang sampai ke berbagai Negara akibat nasibnya yang belum menentu di Negara sendiri. Bukan tak mudah harus pergi dari tanah air ini, tak jarang akibatnya warga Negara harus pulang tak bernyawa menjadi pahlawan devisa. Kisah pelik mencari kerja di negeri sendiri pantas diulas dan direnungkan pada kaum Urban, inilah fenomena urbanisasi vis a vis TKI. Sebenarnya bagaimana tanggung jawab Negara di dalam menyediakan lapangan kerja di negeri sendiri? Apakah negeri ini tidak dapat memdidik dan memperdayakannya warga sendiri di tanah air yang punya luas 1.919.440 km2.
Memang ada hal yang sangat terbalik di negeri ini, satu sisi melarang dan membatasi pengiriman TKI ke luar negeri, disisi yang lain tidak menyukai Urbanisasi. Tentunya dua hal ini menjadi berlawanan dan tarik menarik dan kecenderungan kebijakan Negara dalam hal ini menjadi tidak konsisten. Lalu bagaimana nasib para kaum Urban yang terusir di Negeri sendiri. Mari memandang mereka yang sedang ingin bekerja dan mengatasi masalah hidupnya, namun tak kunjung ditemui solusinya. Akibat daerah mereka yang mungkin ‘tak maju maju’ alias ‘lamban pembangunanya’, dan pada akhirnya memilih mengadu nasib ke Ibukota. Jakarta sebagai pusat pesatnya pembangunan di Indonesia disadari atau tidak telah banyak menyerap tenaga kerja dari berbagai daerah di Indonesia. Yang mungkin sampai saat ini terus menyedot perhatian para ‘kaum urban’.
Pemerintah DKI menyampaikan tahun ini saja sudah banyak diizinkan pembangunan gedung tinggi dan juga Mall-Mall yang akan berdiri megah di Jakarta. Lalu apa kabar wilayah Indonesia lainnya. Hai... Ibukota, Mari menengok pembangunan ditempat lainnya yang tak sepesat Jakarta.
Jakarta sebagai pusat Ibukota, harusnya disiapkan menopang daerah di sekitarnya dengan menjadi katalisator informasi untuk daerah se Indonesia, terutama dalam informasi pekerjaan, menyiapkan serta menyalurkannya. Jakarta dapat menjadi tempat training kerja yang menyiapkan tenaga kerja trampil untuk dapat bekerja di berbagai daerah di Indonesia dengan jaminan pemerintah pusat yang bekerjasama dalam menyalurkannya dengan pemerintah daerah. Negara diharapkan dapat berdaya dalam menyiapkan berbagai tenaga kerja yang disiapkan untuk daerah-daerah yang membutuhkan. Sehingga urbanisasi bisa difasilitasi, dari Jakarta utk Indonesia. Dan ini bisa dibuat untuk menjadi kebijakan pemerintah pusat.
Jadi selama ini kelambanan negara dalam menyentuh dan mempercepat pembangunan di beberapa bagian daerah dapat diatasi dengan menfasilitasi para pencari kerja dan merancang sebaran kebutuhan tenaga kerja, dengan memperhatikan kebutuhan setiap lokasi. Jangan yang terjadi sekarang, seperti terihat negara justru banyak mensupport negara lain dan merasa senang dengan devisanya, padahal product knowledge manusianya diperas untuk kemajuan bangsa lain. Sudah harusnya kebaikan harus didorong untuk Indonesia menyiapkan warganya menjadi siap dan kuat serta aman untuk hidup di negerinya sendiri. Dibanding mereka harus bekerja ke luar negeri tanpa jaminan hidup yang jelas. Jangan sampai Negara terlena hanya mengambil devisanya namun untuk kerusakan manusia negara menolaknya. Sudah seharusnya Indonesia menerima keluarganya,-saudaranya sendiri di tanah air untuk bekerja dan membangun negaranya.
Negara harusnya bisa mensupport awal semua tenaga kerja yg disebar di Indonesia. Jadi kesejahteraan dapat merata dan disupport dari pusat dengan mendorong kemandirian di daerah. Dengan ini Indonesia akan semakin dicintai warganya sendiri, bukan merasa senang hidup di negara orang dengan TKI, kalau bisa ini adalah pilihan terakhir. Namun kenyataannya sering kita dengar keluarga sendiri lebih senang hidup di negara lain serta secara tidak langsung memajukan negara lain dibanding memajukan negaranya sendiri. Jangan sampai generasi kita mendatang lebih bangga hidup di negara lain dibanding negeri sendiri.
Sebuah renungan: Bayangkan saja mulai dari tidur sampai bangun tidur kehidupan kita sudah dipenuhi berbagai produk yang product knowledge dibuat di negara lain, dan sekarang telah banyak memenjara produk dalam negeri sendiri. Karena kebiasaan yang mendarah daging yang telah lama dilakukan melalui berbagai promosi, kerjasama dan iklan. Misal menggunakan produk ini lebih bersih dibanding produk ini. Akibatnya banyak produk kualitas sama dan sejenis harus mati. Dan ini menyebabkan produktifitas tidak dapat maksimal dalam menyerap tenaga kerja dan pemberdayaan antar sesama cenderung tidak terjadi. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Tentu proses panjang telah mengubah ini semua. Revolusi didalam menghargai, memajukan dan memperjuangkan produk di negeri sendiri menjadi amat penting. Karena dari hal inilah masyarakat dapat berdaya saing secara sehat dan dapat memberdayakan sesamanya. Jika hal ini tidak terjadi, maka bisa dibayangkan sebentar lagi Indonesia dipenuhi produk dari luar, bukan kekayaan yang diolah untuk kelanjutan generasi sendiri. Untuk produk kecil saja dalam memenuhi kebutuhan sendiri, kita seperti tidak berdaya untuk bisa membuatnya. Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI