Kemiskinan masih menjadi masalah struktural di Indonesia, meskipun angkanya menurun dalam dua dekade terakhir. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 adalah 23,85 juta, turun 0,21 juta dari September 2024 dan 1,37 juta dari Maret 2024. Pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program bantuan sosial (PKH, Rastra, JKN-PBI) untuk mengentaskan kemiskinan. Apakah sistem ini benar-benar efektif, atau apakah ketergantungan struktural semakin meningkat?
Jenis Bantuan
Kebutuhan khusus dapat terpenuhi dengan bantuan nontunai (in-kind welfare) seperti sembako, tetapi mereka rentan terhadap masalah distribusi dan kualitas produk. Bantuan tunai (cash welfare) seperti PKH memberi penerima fleksibilitas untuk menggunakan dana sesuai kebutuhan, tetapi rawan penyalahgunaan. Kebijakan yang efektif sering kali mengombinasikan keduanya, meskipun pengawasan menjadi tantangan besar.
Program Keluarga Harapan (PKH)
Program Keluarga Harapan (PKH) dimulai pada tahun 2008 dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup keluarga miskin dengan memberikan bantuan tunai bersyarat yang mewajibkan mereka untuk mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan. PKH berperan sebagai pusat sinergi program perlindungan dan pemberdayaan sosial, mencakup kesehatan, pendidikan, gizi, dan akses program sosial lainnya. PKH telah mencapai lebih dari 21 ribu desa secara nasional dan diharapkan untuk menghentikan rantai kemiskinan antar generasi melalui peningkatan kesehatan, pendidikan, kapasitas pendapatan anak, jaminan masa depan, perubahan perilaku keluarga, dan peningkatan kesehatan keluarga, pengurangan pekerja anak, percepatan pencapaian MDGs, serta pengurangan beban biaya pendidikan dan kesehatan keluarga miskin.
Di sektor kesehatan, PKH mendorong pemanfaatan layanan seperti pemeriksaan kehamilan, imunisasi, dan pemantauan tumbuh kembang balita. Keterlibatan masyarakat dalam posyandu dan fasilitas kesehatan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu-anak, mengurangi angka kematian bayi, mencegah stunting, dan meningkatkan kualitas hidup keluarga miskin secara keseluruhan.
Walaupun PKH terbukti memberikan dampak positif, pelaksanaannya masih menghadapi tantangan yang menghambat efektivitas. Pertama, data kemiskinan perlu diperbarui secara teratur dan sistem verifikasi yang lebih baik diperlukan. Ini karena ketepatan sasaran belum ideal, dengan kesalahan inklusi 10--15 persen dan kesalahan eksklusi 20--25 persen. Kedua, ada perbedaan dalam kualitas pendampingan; di beberapa wilayah, rasio pendamping terhadap keluarga terlalu tinggi (1:250--300), jauh dari rasio yang lebih baik (1:100--150). Selain jumlah, kemampuan pendamping dalam memfasilitasi pemberdayaan ekonomi juga perlu ditingkatkan. Ketiga, integrasi PKH dengan program perlindungan sosial dan pemberdayaan ekonomi lainnya belum maksimal. Meskipun sudah ada sistem identifikasi terpadu, tumpang tindih dan celah cakupan masih terjadi. Untuk mengatasi hal ini, koordinasi lintas sektor dan antarlevel pemerintahan harus diperkuat.
Program Keluarga Harapan (PKH) terbukti efektif menurunkan kemiskinan dan meningkatkan akses layanan kesehatan serta pendidikan bagi keluarga miskin melalui bantuan tunai bersyarat. Dampaknya terlihat pada meningkatnya kunjungan ibu hamil dan balita ke fasilitas kesehatan, perbaikan gizi anak, naiknya angka partisipasi sekolah, dan turunnya putus sekolah.
Bansos Sebagai Jembatan, Bukan Tujuan
Walau bansos terbukti berkontribusi menekan garis kemiskinan, ada beberapa catatan penting:
1. Tanpa pemberdayaan ekonomi, seperti pelatihan kerja, dukungan usaha, dan akses kredit, bantuan yang terus menerus hanya akan menghasilkan ketergantungan, bukan solusi jangka panjang.