Â
Pendahuluan
Dalam dunia hukum perdata, khususnya hukum kontrak, asas itikad baik merupakan fondasi moral dan hukum yang menjaga agar suatu perusahaan tidak hanya sah secara formil, tetapi juga adil secara substansial. Namun dalam praktiknya, banyak perjanjian yang dibuat dengan motif tersembunyi, tipu daya, bahkan manipulasi, sehingga melanggar prinsip itikad baik tersebut. Artikel ini akan mengulas bagaimana pelanggaran terhadap asas itikad baik dapat menjadi dasar batalnya suatu perjanjian, baik secara absolut maupun relative sesuai Peraturan perundang-undangan, doktrin dan yurisprudensi yang berkembang.
Pengertian Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian
Asas itikad baik ( itikad baik ) merupakan prinsip fundamental dalam hukum perjanjian, baik dalam pembentukan maupun pelaksanaan (eksekusi) kontrak. Asas ini menuntut para pihak untuk bertindak jujur, terbuka, tidak merugikan, dan saling menghormati hak serta kepentingan masing-masing.
Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata:
"Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad yang baik." Artinya, Itikad baik tidak hanya dimaknai sebagai niat yang jujur (itikad baik subjektif), tetapi juga sebagai standar objektif dalam bertindak sewajarnya dalam hubungan hukum.
Dari Aspek Yuridis Terhadap Perjanjian Yang Dibatalkan Atau dibatalkan jika tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: Kesepakatan para pihak, Kecakapan untuk membuat perikatan, Suatu hal tertentu dan  Suatu sebab yang halal.
"Jika syarat pertama atau kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. Jika syarat ketiga atau keempat tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan (voidable)''.
Pelanggaran Asas Itikad Baik Sebagai Alasan Pembatalan
Pelanggaran terhadap asas itikad baik umumnya berkaitan dengan syarat kesepakatan dan sebab yang halal. Dalam beberapa kasus, meskipun secara lahiriah tampak ada kesepakatan, namun jika ternyata dicapai dengan cara:
- Menipu (penipuan);
- Memanfaatkan keadaan yang salah satu pihak (misbruik van omstandigheden);
- Menyembunyikan informasi penting (non-disclosure); dan
- Bertindak dengan niat jahat untuk merugikan pihak lain.
Maka perjanjian tersebut cacat secara hukum, dan perjanjian dapat dianggap tidak sah atau dibatalkan.
Contoh Kasus Sebagai Yurisprudensi Mahkamah Agung
Kasus bermula Ketika Tergugat meminjam uang pada Penggugat dengan janji akan membayar bunga sebesar 10% setiap bulannya dan menyerahkan buku pembayaran dana pensiun milik Tergugat sebagai jaminan.
Pada proses Tergugat tidak mampu menunaikan kewajiban hutangnya tersebut oleh karena usaha yang dijalankan tidak berjalan sebagaimana mestinya/merugi sehiingga oleh karena itu Gugatan pun bergulir di Pengadilan Negeri tentu agar Tergugat mau membayar kewajiban hutangnnya beserta bunga sesuai dengan Perjanjian.
Pengadilan Negeri dengan kewenangnnya kemudian mengabulkan Gugatan penggugat dan menghukum Tergugat untuk membayar hutang ditambah dengan bunga sebesar 4% untuk setiap bulannya terhitung sejak perkara masuk ke Pengadilan sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Hingga Pengadilan Tinggi pun tetap menguatkan Putusan Pengadilan Negeri semula.
Kemudian Tergugat dalam perkara ini maju ke Mahkamah Agung untuk mengajukan Kasasi dan Mahkamah Agung dalam perkara A quo mengabulkan permohonan Tergugat sebagaimana dalam pertimbangannya bahwa jika diperhatikan dalam pinjam meminjam tersebut, maka Bungan yang diperjanjikan 10% setiap bulannya adalah terlampau tinggi dan bertentangan dengan kepatutan dan keadian mengingat Tergugat merupakan seorang Purnawirawan yang tidak memiliki sumber penghasilan lain.
Kemudian ketentuan dalam perjanjian yang menentukan penyerahan buku pembayaran dana pensiun sebagai ''jaminan'', juga telah bertentangan dengan kepatutan dan keadilan sehingga dalam perkara ini Mahkamah Agung berwenang untuk menetukan ex aequo et bono yang artinya adalah patut dan adil.
Secara rinci beberapa contoh penerapan asas itikad baik dalam perundang-undangan:
KUH Perdata (Pasal 1338 ayat (3)):
''Menegaskan bahwa "semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik". Ini menjadi dasar utama penerapan asas ini dalam hukum perjanjian''.
Hukum Perlindungan Konsumen: Mewajibkan pelaku usaha untuk beritikad baik dalam menawarkan dan menjual barang atau jasa. Ini termasuk memberikan informasi yang benar, jujur, dan tidak menyesatkan kepada konsumen.
Banyak prinsip perlindungan konsumen, seperti hak untuk mendapatkan informasi yang benar, hak untuk memilih, hak untuk mendapatkan rasa aman, dan hak untuk mendapatkan ganti rugi, pada dasarnya merupakan turunan dari asas itikad baik.
Hukum Perburuhan: UU Ketenagakerjaan, menetapkan asas itikad baik dalam hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja. Ini mencakup kewajiban pengusaha untuk memberikan kondisi kerja yang aman dan sehat, serta hak pekerja untuk mendapatkan upah yang layak.
Seperi konsep Penerapan itikad baik dalam perjanjian kerja yang harus memastikan bahwa kedua belah pihak (pengusaha dan pekerja) memenuhi kewajiban mereka sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat.
Penutup
Kesimpulan
Asas itikad baik bukanlah formalitas semata, melainkan nilai yang sangat substansial yang menentukan sah atau tidaknya suatu perjanjian. Apabila asas ini dilanggar, maka perjanjian dapat dibatalkan demi hukum atau dibatalkan oleh pihak yang dirugikan. Oleh karena itu, dalam setiap pembentukan maupun pelaksanaan kontrak, penting bagi para pihak untuk menjaga integritas, kejujuran, dan keterbukaan sebagai bagian dari tanggung jawab hukum dan moral.
Jika bermanfaat jangan lupa tinggalkan komentar dan bagikan.
 Adv. Amudin Laia, S.H.,Â
Referensi
Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor 3431 K/Pdt/1985, tertanggal 07 Januari 1987, Kompilasi 100 Kaidah hukum dan Yurisprudensi hukum perdata dan acara perdata, oleh Fredrik J. Pinakunary, S.H., S.E.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI