Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ada yang Bertanya Kapan Keramaian Ini Berakhir

26 Mei 2019   02:44 Diperbarui: 26 Mei 2019   05:52 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lantas aku menoleh ke sekeliling pandangan. Ramai. Tidak ada tanda-tanda keberadaan wartel. Hanya ada segelintir sisa-sisa riuh sore tadi dan cakap-cakap yang terdengar dari balik kaca kaffe. Aku pun menggeleng kepala untuk isyarat bahwa aku tidak tahu wartel itu berada.

"Maaf Pak, saya tidak tahu.." ia sontak membalas senyum saja.

"O, tidak apa-apa, boleh saya ikut istirahat di sini?" aku lantas memberinya tempat agar musafir ini duduk tenang dan merebahkan lesu yang panjang sedari siang. Ia mengocek tas miliknya, merogoh sebotol air dari perjalanannya. Ia teguk dengan mata berseri-seri. Dua-tiga teguk sudah memberinya kekuatan untuk perjalanan yang masih bersisa. Spontan, tanganku menyodorkan kresek hitam berisi tahu goreng pada dirinya;

"Pak, ini ada tahu goreng, boleh dicicip..." senyumku merambat dan wajahku seketika cerah dengan lengkung kurvaku menarik rahangku agar tetap tersenyum setiap bertemu seseorang.

"O, tidak usah Nak, bapak sudah beli bekal dari terminal tadi." Ia lantas mengocek kembali tas dan mengambil sebungkus nasi. Ada minyak yang membasahi kertas yang berarti sudah berjam-jam ia membeli nasi bukan nasi yang baru. Ia buka lilitan karet satu per satu: seporsi nasi dan tempe balado. Sudah. Tidak semewah yang aku bayangkan. Seketika mataku berkaca-kaca dan sedikit mengenang perjuangan bapakku mencari uang untuk makananku setiap hari. Aku sesekali mengusap mataku dengan kain baju.

"Adek, mau ikut makan?" tangan rentanya menyodorkan ke arahku dan dalam mulutnya masih mengunyah makanan. Seakan baginya bahagia itu sederhana dan untuk bahagia tidak perlu ramai yang penting penuh kesyahduan saling berbagi. Aku masih terisak pelan. kepalaku menggeleng sopan dan membiarkan musafir ini kenyang dan melanjutkan sisa destinasinya.

"Untuk bapak saja, saya sudah kenyang tadi." Bibirku semu senyum setengah menangis. Menatap musafir ini membuatku terngiang ketika bapakku pulang dan membawa sekotak makanan usai pengajian di masjid. Meski hanya sekotak, keluarga kecilku sangat menerima kesederhanaan yang ada. Aku acap kali merenung bahwa betapa sederhananya bahagia dan tak perlu mewah.

Sambil membiarkan musafir ini menyantap buka puasa. Mataku berpindah ke arah kaffe itu. tidak seperti tadi, keramaian pun menjelma sepi dan hening. Mereka saling membuka ponsel dan tidak menggubris sebelahnya. Sibuk dalam dunia maya, tidak perdulikan dunia nyata. Terlihat sisa-sisa makanan itu diambil oleh pelayan dan membawanya balik ke ruang dapur. Aku merasa ramai itu tidak pernah indah dan sesungguhnya terletak pada rasa sederhana. Musafir itu membereskan makanannya, mengunyah nasi dan lauk-pauk, dan bilang kepadaku;

"Ayo Nak, segera sholat maghrib dulu." Musafir itu mengajak diriku untuk sholat di langgar pinggir jalan. Aku terkesima. Masih ada orang yang meski lelah dan letih ternyata menyempatkan waktunya kepada Tuhan, mengabdikan seluruh raganya pada Tuhan pemilik dirinya. Ia pun merapihkan bekas bungkusan, membuangnya pada tempat sampah, menutup restleting tasnya demi bersegera ke langgar. Aku merasa terpukul ketika tas miliknya bergambar tokoh kartun anak-anak, mungkin itu punya anaknya dahulu. Ia pinjam sebentar keluar melalang buana demi destinasinya tercapai. Aku sedikit iba. Musafir yang sudah berkeriput renta menggamit kresek besar -- mungkin oleh-oleh kampung -- dan di punggungnya ada tas gambar kartun. Sehingga aku jadi merasa terenyuh ketika aku pergi kuliah harus membeli tas bagus dan malu saat aku dibelikan tas yang menurutku kurang cocok buatku.

Lihat, musafir ini merasa buat apa bermewah-mewahan dan yang paling penting ialah bagaimana sederhana dan merasa kurang di hadapan Tuhan. Sekilas, aku menangis kembali.

"Bapak tinggal dulu ke langgar, pamit dulu Dek." Ia bergegas pergi, meninggalkan bekas duduk dan jejak menapak aspal berdebu. "Assalamualaikum."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun