Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Hujan, Kopi, Rindu, dan Senja: Sastra Indonesia yang "Gitu-gitu Doang"

31 Desember 2018   10:43 Diperbarui: 1 Januari 2019   12:00 2327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : rawpixel.com

Tapi mengapa dominasi karya sastra harus merujuk pada rindu, kopi, hujan, dan senja, terutama bagi penggila puisi? Oh, sekali-kali tidak, puisi itu bukan melibatkan kosakata yang "itu-itu saja".

Bukan berarti Sapardi harus membikin puisi tentang hujan nan sederhana tapi setelah puisi Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari mengisahkan "Ini loh, seorang Sapardi tidak larut dalam romantisme, baik hujan, maupun bulan Juni" artinya, puisi tersebut tentang bayang-bayang dan matahari yang menafikan sosok hujan. Dan Seno G. Ajidarma dengan cerpen "Aku, Pembunuh Munir" yang serta-merta tidak senja melulu. 

Saya jujur berguru pada beliau-beliau bukan dari sisi romantisnya, meski itu lumrah. Tapi, dari sisi ke-jeniusannya sehingga karya-karya beliau out of the box, tidak terpaku satu genre, dan mengiyakan bahwa sastra Indonesia itu bukan kopi, senja, rindu, atau hujan; Ya, itu-itu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun