Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Hujan, Kopi, Rindu, dan Senja: Sastra Indonesia yang "Gitu-gitu Doang"

31 Desember 2018   10:43 Diperbarui: 1 Januari 2019   12:00 2327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : rawpixel.com

Dalam penggalan sebuah sajak milik siapapun itu, saya -- seorang penikmat sastra -- telah menemukan banyak kosakata layaknya di judul. Meski tidak, paling ujung-ujungnya mengatakan demikian: makna terselubung. 

Lalu, saya re-check di berbagai karya antologi puisi atau cepen. Ya, tetap saja tiak jauh-jauh dari rindu yang menjelma di cangkir kopi, bersama hujan di penghujung senja. So romantic! Tapi, alangkah mengertinya saya bahwa penulis tersebut tengah dirundung asmara dengan cara sesederhana itu. Bagi saya, itu sah-sah saja selama sajak tidak melibatkan hal berbau SARA atau pornografi.

Semenjak saya terkontaminasi oleh rindu dan kopi, saya mengartikan bahwa "Oh begitu, dunia sastra itu." Maka, berangkat dari literasi, apa yang saya baca berhasil menggugah inspirasi untuk berani bersajak sehingga karya yang dihasilkan tetap saja masih jangkauan rindu dan kopi; mainstream!

Setiap saya menulis apapun itu kisahnya, Ya, saya seorang cerpenis lokal yang minim kosakata nekat mengangkat cerita pendek dari tema tidak jauh dari hujan dan tete-bengeknya. Sehingga saya merasa cerpen itu terlalu biasa dan membosankan di kalangan pembaca ramai. Itulah efek bilamana seringnya baca tapi "itu-itu saja" (baca: judul di atas). 

Begitu pula alur yang saya rangkai satu demi satu, kemudian dibumbui oleh kerinduan, dengan latar belakang senja, akibat ditinggal sang kekasih, malam pun tiba hujan lalu muncul dalam scene-nya, si lelaki yang diselingkuhi senja menepi di kedai kopi, lalu tak sadar ada bayangan wajah sang wanita di tiap adukan kopinya. Jujur, saya yang menulis tapi yang bosan juga. Alhasil, saya urung niat tuk menyelesaikan cerpen; mungkin pembaca lebih tau ending-nya, kalau tidak sad, ya happy.

Sebagian teman saya yang dimintai nilai terhadap cerpen karangan saya -- yang malas saya selesaikan, mereka mengatakan, "Wow,," dengan gurat sumringah lalu lanjut "Cerpennya bener-bener buat gue nge-hayatin banget, kok gue baper ya? Haha, lanjutin lagi donk! Tanggung lho.." terus terang, saya yang dari tadi mendengar seakan tak menyangka kalau mereka akan memuji-muji. Praduga saya, mereka akan berbalik sangkaan: hinaan, caci-makian.

Melihat betapa mirisnya ide-ide yang semakin tergerus, mengandalkan inspirasi rindu, kopi, hujan, dan senja di tiap paragrafnya, memaknai dengan hati riang bercampur gelisah dan cemas tuk ungkapkan pada kekasihnya dalam lamunan, menurut saya, itu sebuah terobosan karya yang berjalan di tempat; Ya, artinya tidak melepaskan pikiran out of the box. 

Yang saya tekankan: sastra Indonesia bukan ihwal rindu, tetapi ihwal kosakata kamus tebalnya. Pernah tidak beranggapan dalam satu kamus hanya berisikan rindu atau sejenisnya sehingga itu kamus benar-benar bikin suasana "baper"? Ah, saya pernah. Dan itu tidak menstimulasi agar saya baper atau apalah: sekadar kesemsem sendiri.

Sebelumnya, saya pernah kunjungi pameran buku pelajaran, novel, antologi puisi, sejarah, dan macam-macamnya di selasar kampus. Ya, saya mahasiswa di daerah Bandung dan dikenal dengan kotanya rindu dari Milea-Dilan (bilang saja: Pidi Baiq, sastrawan yang murag di Bandung). Ternyata, sebagian buku-buku itu, khususnya antologi puisi -- sebab, saya suka. Isinya justru tentang rindu, rindu, dan rindu lagi. Hanya saja ditambah sensasinya lewat perjalanan: destinasi rindu.

Ah, kalau saja begitu, saya menjauh dari rak buku, dari gerombolan kutu baper yang saling bincang hal rindu. Saya memutuskan untuk pulang, bergegas cari inspirasi selain "kata-kata itu."  Menurut saya, hari ini memang remaja kebanyakan suka berbau puitis, terlebih lagi di tengah hujan dibarengi kopi hitam.

Jujur, saya tak ingin menyalahkan hujan atau senjanya, tapi idenya. "Apakah senja atau kopi satu-satunya inspirasi untuk membangun kisah, dan tanpa itu, kita merasa tak punya gairah tuk bersastra?"

Jawabannya ada di penyair puisi ulung, bapak Sapardi Djoko Damono sang maesto di bidang hujan. Kala beliau menciptakan puisi bertajuk, Hujan Bulan Juni, seakan rating kata hujan melunjak naik di kalangan penulis-penulis muda. Ya, Joko Pinurbo sempat menulis cerpen "Sebotol Hujan Untuk Sapardi". 

Di dalamnya, penulis melibatkan seorang Seno G. Ajidarma dengan senjanya, Sapardi dengan Hujannya, dan Subagus -- entah siapa beliau -- yang pernah diajak ngopi di tepian kolam rumah Sapardi. Berdasarkan cerpennya, penulis bercerita beliau (Sapardi) mengenakan kaos oblong bertuliskan "Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi". (dari cerpen harian Kompas, edisi 7 Juni 2015)

Saya terkagum oleh penyair tersebut sehingga apapun yang beliau-beliau omongkan akhirnya berujung menjadi panutan syair-syair kesederhanaan dan berbuah rindu. O, sama halnya saya terlalu terobsesi untuk menuturkan perjalanan mereka.

Yang fana adalah waktu, kita abadi. 

Sungguh mereka abadi, dan sebabnya pula hujan abadi, senja abadi, kopi dan rindu pun abadi. Betapa lucunya orang-orang plagiat, menelusuri sang maestro sampai di inspirasinya tidak terketuk sama sekali untuk membuat hal-hal yang baru, segar, dan menggelitik. 

Dan saya tidak ingin ikut-ikut atau terjerumus yang demikian adanya. Saya adalah aku yang dipanggil saya (dalam tulisan ini) dan sastra Indonesia adalah saya yang menyebutnya "itu-itu saja" (dalam tulisan ini); sedangkan sastra itu luas, yang sempit itu abadi. Ya, berkenaan dengan hujan atau lainnya.

Syukur pada Tuhan yang membuat saya terhindar dari bisikan-bisikan plagiasi, jaman ini terlalu lugas sebut-sebut syair itu harus menjiwai, salah satunya dengan cinta yang dibilas kerinduan. O, berarti orang-orang ini kecanduan hati? Mungkin juga tidak. Seorang Chairil Anwar, puitis angkatan 45' mengarang puisi lewat ambisi hatinya tuk mendobrak nyali pejuang Indonesia dari genggaman penjajah. 

Diikuti oleh W.S. Rendra dan jejak Widji Tukul dengan teriakan: Lawan! Sebab jaman itu memang tengah gencar-gencarnya untuk merdeka (dari penjajah atau otoriter pemerintah).  Sementara jaman ini justru diperangi rasa rindu, ditinggal saat senja, menangislah langit yang biasa disebut hujan, ditepikanlah suasana hati lewat secangkir kopi. 

Ah! Jujur, saya merasa risih bila kata-kata itu timbul di muka sastra Indonesia. Bukan saya tidak merasa rindu, tapi ini Indonesia! Yang sehari-harinya bukan ihwal galau berlebihan.

Mungkin ada juga penulis ulung, sebut saja Agus Noor, cerpenis bertingkah pangeran "kunang-kunang" ini bercerita di sebuah karyanya, Ada yang Menangis Sepanjang Hari. Dari cerpen tersebut, menggambarkan suasana gelisah dan risih oleh suara tangisan yang sumbernya entah dimana. Apakah itu di rumah warga, di balai desa, sampai-sampai di kediaman presiden. Bisa jadi suara itu menggema ke langit, konstelasi bintang, dan galaksi-galaksi disana (hiperbola) tapi disitu ada nilai kemanusiaan yang disinggung lewat perantara tangisan. 

Betapa cerdiknya penulis itu menganalogikan sikap negarawan yang tidak tahu-menahu bahwa masih ada jeritan yang perlu disinggahi dan itu berakibat prasangka tangisan itu berasal dari galaksi nan jauh disana. Saya bukan ingin mengkritik karya orang lain atau apalah. Dan ingat, tidak semua penulis ulung bercerita itu-itu saja. Adakalanya, berkisah selain yang saya sebutkan di tajuk ini. 

Tapi mengapa dominasi karya sastra harus merujuk pada rindu, kopi, hujan, dan senja, terutama bagi penggila puisi? Oh, sekali-kali tidak, puisi itu bukan melibatkan kosakata yang "itu-itu saja".

Bukan berarti Sapardi harus membikin puisi tentang hujan nan sederhana tapi setelah puisi Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari mengisahkan "Ini loh, seorang Sapardi tidak larut dalam romantisme, baik hujan, maupun bulan Juni" artinya, puisi tersebut tentang bayang-bayang dan matahari yang menafikan sosok hujan. Dan Seno G. Ajidarma dengan cerpen "Aku, Pembunuh Munir" yang serta-merta tidak senja melulu. 

Saya jujur berguru pada beliau-beliau bukan dari sisi romantisnya, meski itu lumrah. Tapi, dari sisi ke-jeniusannya sehingga karya-karya beliau out of the box, tidak terpaku satu genre, dan mengiyakan bahwa sastra Indonesia itu bukan kopi, senja, rindu, atau hujan; Ya, itu-itu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun