Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Hujan, Kopi, Rindu, dan Senja: Sastra Indonesia yang "Gitu-gitu Doang"

31 Desember 2018   10:43 Diperbarui: 1 Januari 2019   12:00 2327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : rawpixel.com

Jawabannya ada di penyair puisi ulung, bapak Sapardi Djoko Damono sang maesto di bidang hujan. Kala beliau menciptakan puisi bertajuk, Hujan Bulan Juni, seakan rating kata hujan melunjak naik di kalangan penulis-penulis muda. Ya, Joko Pinurbo sempat menulis cerpen "Sebotol Hujan Untuk Sapardi". 

Di dalamnya, penulis melibatkan seorang Seno G. Ajidarma dengan senjanya, Sapardi dengan Hujannya, dan Subagus -- entah siapa beliau -- yang pernah diajak ngopi di tepian kolam rumah Sapardi. Berdasarkan cerpennya, penulis bercerita beliau (Sapardi) mengenakan kaos oblong bertuliskan "Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi". (dari cerpen harian Kompas, edisi 7 Juni 2015)

Saya terkagum oleh penyair tersebut sehingga apapun yang beliau-beliau omongkan akhirnya berujung menjadi panutan syair-syair kesederhanaan dan berbuah rindu. O, sama halnya saya terlalu terobsesi untuk menuturkan perjalanan mereka.

Yang fana adalah waktu, kita abadi. 

Sungguh mereka abadi, dan sebabnya pula hujan abadi, senja abadi, kopi dan rindu pun abadi. Betapa lucunya orang-orang plagiat, menelusuri sang maestro sampai di inspirasinya tidak terketuk sama sekali untuk membuat hal-hal yang baru, segar, dan menggelitik. 

Dan saya tidak ingin ikut-ikut atau terjerumus yang demikian adanya. Saya adalah aku yang dipanggil saya (dalam tulisan ini) dan sastra Indonesia adalah saya yang menyebutnya "itu-itu saja" (dalam tulisan ini); sedangkan sastra itu luas, yang sempit itu abadi. Ya, berkenaan dengan hujan atau lainnya.

Syukur pada Tuhan yang membuat saya terhindar dari bisikan-bisikan plagiasi, jaman ini terlalu lugas sebut-sebut syair itu harus menjiwai, salah satunya dengan cinta yang dibilas kerinduan. O, berarti orang-orang ini kecanduan hati? Mungkin juga tidak. Seorang Chairil Anwar, puitis angkatan 45' mengarang puisi lewat ambisi hatinya tuk mendobrak nyali pejuang Indonesia dari genggaman penjajah. 

Diikuti oleh W.S. Rendra dan jejak Widji Tukul dengan teriakan: Lawan! Sebab jaman itu memang tengah gencar-gencarnya untuk merdeka (dari penjajah atau otoriter pemerintah).  Sementara jaman ini justru diperangi rasa rindu, ditinggal saat senja, menangislah langit yang biasa disebut hujan, ditepikanlah suasana hati lewat secangkir kopi. 

Ah! Jujur, saya merasa risih bila kata-kata itu timbul di muka sastra Indonesia. Bukan saya tidak merasa rindu, tapi ini Indonesia! Yang sehari-harinya bukan ihwal galau berlebihan.

Mungkin ada juga penulis ulung, sebut saja Agus Noor, cerpenis bertingkah pangeran "kunang-kunang" ini bercerita di sebuah karyanya, Ada yang Menangis Sepanjang Hari. Dari cerpen tersebut, menggambarkan suasana gelisah dan risih oleh suara tangisan yang sumbernya entah dimana. Apakah itu di rumah warga, di balai desa, sampai-sampai di kediaman presiden. Bisa jadi suara itu menggema ke langit, konstelasi bintang, dan galaksi-galaksi disana (hiperbola) tapi disitu ada nilai kemanusiaan yang disinggung lewat perantara tangisan. 

Betapa cerdiknya penulis itu menganalogikan sikap negarawan yang tidak tahu-menahu bahwa masih ada jeritan yang perlu disinggahi dan itu berakibat prasangka tangisan itu berasal dari galaksi nan jauh disana. Saya bukan ingin mengkritik karya orang lain atau apalah. Dan ingat, tidak semua penulis ulung bercerita itu-itu saja. Adakalanya, berkisah selain yang saya sebutkan di tajuk ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun