Di dunia digital saat ini, kita tidak lagi menggunakan senyuman atau alis terangkat untuk mengekspresikan diri. Kini, kita bisa mengganti senyum dengan emoji , keraguan dengan tanda tiga titik "...", dan kehadiran dengan tanda centang biru. Namun, sama seperti bahasa tubuh di dunia nyata, bahasa tubuh daring ini juga bisa disalahartikan---terutama ketika kita berkomunikasi lintas budaya.
Bagi orang Indonesia, gaya berbahasa di dunia maya cenderung ekspresif, hangat, dan sopan. Kita sering menggunakan emoji lucu, tanda seru berulang, atau menambahkan kata seperti "hehe" dan "ya gapapa kok" agar terdengar ramah. Namun, bagi mereka yang berasal dari budaya yang lebih langsung, gaya seperti ini bisa terdengar berlebihan atau sulit dipahami. Sebaliknya, pesan singkat tanpa emoji dari orang asing bisa terasa dingin bagi kita---padahal sebenarnya mereka hanya bermaksud bersikap efisien atau netral.
Perbedaan penafsiran ini sering kali muncul dari cara penggunaan emoji. Misalnya, emoji di Indonesia biasanya berarti "terima kasih," sementara di negara Barat lebih sering dimaknai sebagai "tangan berdoa." Ungkapan khas Indonesia seperti "wkwkwk" juga kerap membingungkan teman asing yang lebih terbiasa dengan "lol" atau "haha." Bahkan emoji pun kini bergeser maknanya---di kalangan Gen Z Barat, ("I'm dead") kini menjadi cara baru untuk mengatakan "itu lucu banget."
Dalam konteks pekerjaan atau perkuliahan, nuansa-nuansa kecil ini bisa menentukan bagaimana pesan diterima. Seorang karyawan Indonesia yang menulis "maybe later :)" bermaksud sopan, tetapi bagi rekan kerja dari Barat, kalimat itu bisa terdengar pasif-agresif. Mahasiswa Indonesia di sesi Zoom internasional sering menunggu kesempatan berbicara agar tidak dianggap memotong, sementara peserta dari budaya Barat langsung menimpali tanpa ragu. Perbedaan ini bisa menimbulkan ketimpangan partisipasi dan salah paham kecil yang kemudian berkembang menjadi stereotip---seperti "orang Indonesia terlalu baik" atau "orang Barat terlalu blak-blakan."
Situasi-situasi seperti ini menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya bukan hanya soal bahasa, tetapi juga soal memahami sinyal digital yang menyertainya. Tanda pengetikan, jeda dalam membalas pesan, atau pilihan emoji semuanya memiliki makna sosial yang berbeda tergantung pada latar budaya penggunanya. Salah menafsirkan sinyal-sinyal halus ini bisa membuat interaksi daring terasa canggung atau terputus secara emosional.
Di sinilah pentingnya kepekaan budaya dan empati dalam komunikasi digital. Menyadari bahwa cara seseorang menulis, membalas, atau bereaksi di dunia maya dipengaruhi oleh budayanya dapat membantu kita berkomunikasi dengan lebih peka dan terbuka. Internet memang mempersingkat jarak, tetapi kedekatan sejati hanya tercipta ketika kita berusaha saling memahami---bahkan melalui emoji, tanda tiga titik, atau tanda baca sederhana.
Pada akhirnya, komunikasi bukan hanya tentang apa yang kita katakan, tetapi juga tentang apa yang kita maksudkan---bahkan ketika yang kita kirim hanyalah emoji kecil di layar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI