Insenerator Bandung, Solusi Cepat yang Menjadi Masalah Baru
“Teknologi seharusnya menyelamatkan bumi, bukan membakarnya perlahan.”
Oleh Karnita
Ketika Sampah Tak Sekadar Terbakar
Apakah membakar sampah berarti membakar masalah, atau justru menimbun bahaya baru di udara? Pertanyaan itu menggema setelah Pikiran-Rakyat.com (5 Oktober 2025) menurunkan laporan berjudul “Insenerator di Kota Bandung Dinilai Tak Ideal, Peneliti Sarankan untuk Dihentikan.” Laporan itu menyoroti kinerja mesin olah runtah (Motah) di TPS3R Patrakomala, Sumur Bandung, yang dinilai gagal menjadi solusi pengurangan sampah.
Tiga tahun beroperasi, insenerator yang diharapkan mengurai tumpukan sampah ternyata memunculkan persoalan baru: polusi udara, bahaya dioksin, dan efektivitas rendah akibat minim tenaga kerja serta suhu pembakaran yang tak ideal. Situasi ini menggambarkan betapa rumitnya mencari keseimbangan antara kebutuhan pragmatis kota besar dengan tanggung jawab ekologis jangka panjang.
Sebagai penulis yang peduli pada isu lingkungan perkotaan, saya melihat berita ini bukan sekadar laporan teknis, melainkan peringatan moral bagi tata kelola publik. Pengelolaan sampah tidak bisa hanya diukur dari efisiensi mesin, tetapi dari kesadaran sistemik dan etika keberlanjutan yang mendasarinya. Di sinilah urgensi pembahasan ini: Bandung, kota dengan semangat inovasi, kini justru dihadapkan pada dilema antara teknologi cepat dan tanggung jawab ekologis yang lambat.
1. Teknologi Tanpa Kesadaran Lingkungan
Insenerator sejatinya dirancang untuk mengurangi volume sampah melalui pembakaran terkendali. Namun, menurut laporan Pikiran Rakyat, alat yang diimpor dari Eropa itu justru bekerja di bawah standar ideal. Dengan suhu pembakaran hanya sekitar 700 derajat Celsius, jauh dari standar aman 800 derajat, emisi beracun sulit dihindari.
Teknologi tanpa adaptasi lingkungan ibarat pisau bermata dua: tajam dalam efisiensi, tetapi tumpul dalam keberlanjutan. Bandung yang dikenal progresif dalam inovasi publik seolah terjebak pada ilusi solusi cepat, tanpa perhitungan ekologis yang matang. Kritik Annisa Maharani dari Nexus3 memperkuat hal ini—standar lingkungan Indonesia yang longgar menjadi celah kebijakan yang membahayakan warga.